Me at A glaNce

Foto saya
GRESIK BERHIAS IMAN merupakan slogan kota kelahiranku. sekarang aku menempuh pendidikan S1 di Surabaya State University, The faculty of Language and Art, English Department. pendidikan ini aku peroleh karena aku berkesempatan mendapat beasiswa mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Mindset "The Beauty of Writing" tertanam sejak aku berada di bangku MTs setelah mengirim karya tulis ke Deteksi Jawa Pos. hobi menulis ku ini tertampung di media sekolah sampai akhirnya aku menjabat sebagai pemimpin redaksi mading SMA dan Reporter Majalah PROSPEK. it's amazing experience actually! sebelum aku menetap di kota Pahlawan untuk merampungkan studi ku, aku menulis sebuah buku panduan kepramukaan untuk adik didik ku di alamamaterku dan sekarang mencoba mengukir kembali buku baru yang berjudul " Scouting Guide " yang aku dedikasikan untuk mereka pula. aku temukan the great spirit of writing here. "Dahaga Akan Cinta dan Rindu Rosulillah" merupakan puisi ku yang menduduki posisi ketiga dalam lomba menulis puisi cinta untuk Rosulullah di Universitas Negeri Surabaya. (email: ali_rosyidi51@yahoo.com)

Kamis, 20 Januari 2011

KADO HARI IBU DI SURGA

“Shafia!” teriak ibu memanggilku, “darimana saja kamu? Apa kamu tidak mendengar berkali-kali aku memanggil mu? Bereskan barang-barang belanjaan bapak mu di luar! Taruh barang itu di dalam lemari yang paling selatan! Setelah itu kamu ambil ember di sebelah rumah dan angkut semua kotoran ini ke dapur! Ingat! Jangan sampai menyisakan bekas!” berhari-hari kalimat seru itu menyertai teriakan nama ku sebelum aku pergi jauh—tiada yang lagi bisa memandang ku.
Nama ku adalah Shafia. Anak pertama dari pasangan keluarga sederhana yang berprofesi sebagai pedangan bakso keliling di desa. Ibu dan bapak sangat menyayangi ku. Tak pernah mereka menyuruh ini dan itu untuk kepentingan dagang mereka. Hanya saja aku ingin meluangkan waktu ku untuk membantu mereka setelah pulang sekolah—setidaknya mengiris bawang merah dan sesekali memasukkan bumbu ke kuah bakso. Aku masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Sementara adik lelaki ku masih mengeyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak. Meskipun aku, adik, ibu dan bapak terhimpit dalam hidup sederhana, namun kami sangat bersyukur dengan kesederhaan itulah kami bisa merasakan sebuah kebahagiaan. Kami hidup sangat bahagia.
Namun kebahagiaan itu terkubur dalam-dalam seiring pemakaman ibu ku. Ibu meninggal karena menderita penyakit Liver. Ibu tidak pernah cerita atas beban hidupnya. Mungkin karena tidak ingin membagikan penderitaan itu ke anggota keluarga untuk memikirkan pengobatanya. Ibu sangat memamahi kondisi ekonomi kelurga kami. Aku sangat menyesalkan ke-egois-an ibu. Namun semuanya sudah terlambat, ibu sudah tak mampu lagi untuk bercerita dan membagikan penderitaannya.
Penderitaan ku dimulai ketika bapak berpikiran untuk menggantikan posisi ibu di tengah-tengah keluarga kami—bapak ingin menikah lagi. Aku hanya anak yang berusia sepuluh tahun. Aku masih sangat hijau untuk mengerti permasalahan keluarga dan bahkan tak mampu memahami perasaan bapak. Itu anggapan bapak tentang gadis cilik yang ia sayangi saat ibu masih ada. Dan mungkin kasih sayang itu berangsur luntur sekarang. Yang sangat aku sesalkan, bapak ingin menikah sebelum genap empat puluh hari kematian ibu. Bagiku itu terlalu cepat. Aku masih tak bisa melupakan ibu dengan waktu sesingkat itu. Aku sangat menyayangi ibu. Aku masih ingin berada di pelukannya saat aku ingin dimanja. Apalagi adik ku yang sering memanggil-manggil nama ibu. “ibu, kenapa engkau tinggalkan kami secepat itu?” aku meneteskan air mata.
Ternyata bapak tidak main-main dengan pemikirannya, beliau telah membicarakannya dengan anggota keluarga bapak dan ibu setelah sepenggal pemikiran itu melintas di telinga ku beberapa hari yang lalu. Bapak berjanji untuk mencarikan sosok wanita yang dapat menyayangi anak-anaknya, memahami kondisi ekonomi keluarga dan setia kepada bapak tentunya. Semua anggota keluarga sepakat untuk mengatakan iya. “iya, kamu boleh menikah lagi bila kamu mengerti akan hal itu” tegas kakek.
Aku menghargai keputusan bapak untuk menikah lagi. Sebagai anak, aku hanya bisa patuh dan tunduk terhadap apa yang menjadi pilihan bapak sehingga aku berharap apa yang menjadi keputusan bapak ini adalah yang terbaik baik bagi bapak, aku dan adek. Akhirnya, bapak pun menikah dengan wanita yang bernama Syarifah—perawan yang berusia matang di tetangga desa—yang seterusnya ku sebut ibu tiri.

“Shafia, Ahmed, ibu Syarifah adalah ibu baru kalian. Kalian harus memanggil beliau ibu” ujar bapak kepada aku dan adik.
“Ahmed, kemari sayang…..” sahut manis ibu tiri. “ayo Shafia…..salaman sama ibu. Kemari sayang…..ayo kamari!” tambahnya.

Aku masih takut dan malu pada ibu tiri—sosok wanita yang sering digambarkan sebagai tokoh terjahat dalam rumah. Namun, praduga itu aku tepis jauh-jauh. Aku berharap tokoh terjahat itu hanya terjadi pada dunia fiksi. Aku tak menginginkan rumah ku yang damai hancur hanya karena kehadiran ibu Syarifah.
Ibu Syarifah ternyata tidak seperti yang aku dan mungkin orang lain pikirkan. Ibu tiri itu sangat baik dengan ku dan adik apalagi dengan bapak. Bapak kelihatannya sangat bahagia. Beliau dapat tersenyum lepas setelah tiga puluh empat hari kepergian ibu. Aku pun ikut bahagia bila bapak dapat kembali tersenyum. Aku, adek, dan bapak ternyata terlena dengan kehadiran ibu Syarifah. Kami tanpa menyadari telah melupakan ibu yang telah bersanding dengan-Nya. Kami terlalu bahagia dibuat ibu Syarifah.
Namun, kebahagiaan itu tenyata hanya mampir saja, tak kekal menetap untuk menggantikan kesunyian suasana keluarga kami. Tepat sehari setelah empat puluh hari meninggalnya ibu, ibu Syarifah berubah menjadi sosok yang aku takutkan. Beliau sangat kejam dan otoriter—selalu memerintah. Bahkan lebih kejam dari apa yang telah digambarkan dalam cerita fiksi kisah ibu tiri. Ibu Syarifah tidak peduli ada bapak atau tidak, beliau dengan beraninya menyuruh aku mencuci piring, mangkok, dan bahkan baju. Bapak hanya diam bahkan sesekali bilang, “ayo, ndok ! Ibu dibantu biar cepat selesai pekerjaannya.” Kalimat itu pertama kali muncul selama berada di rumah ini. Bapak lebih membela istri barunya dari aku dan adik. Bahkan bapak sering membentak ku hanya karena aku sesekali tidak menyentuh pekerjaan rumah tangga yang seharusnya menjadi kewajiban ibu Syarifah.
Hidup ku hancur tak tertata lagi. Hari-hari ku dipenuhi oleh isak dan tangis. Mengeluh dan bertahan untuk tabah. Bahkan omelan tidak datang dari bapak dan ibu Syarifah, bahkan ibu dan bapak guru di sekolah tak jarang marah dengan ku karena aku sering tidak mengerjakan tugas sekolah. Aku sadar, aku tak pernah berkesempatan untuk membuka bahkan menyentuh apa yang sudah ibu dan bapak guru ajarkan di sekolah setelah aku pulang. Ibu tiri langsung menelurkan petir di terik matahari. “Shafia! Ganti baju dan langsung cincang bawang merah itu!” perintah ibu Syarifah. Hampir tak ada kata yang terucap dari bibir ku dan bila ada, aku memilih untuk menelannya dari pada nanti mendapat pelajaran tambahan di rumah dari ibu Syarifah—cacian dan makian.

“e! kamu nggak ada harganya disini. Bapak mu itu sudah tunduk dengan aku. Apapun yang aku minta, dia akan turuti. Termasuk menitipkan mu di panti asuhan! Hanya saja itu belum waktunya. Toh belum genap seratus hari arwah ibu melayang-layang di langit. Dan ingat, kamu dan adikmu hanya sebagai pembantu di rumah ini. Ingat, PEMBANTU!

Jarum jam berputar menjadi detik, menit, dan jam dan akhirnya mengubah pagi, siang, dan malam untuk bergantian mengisi dunia. Tidak hanya dunia ku namun dunia manusia sejagat raya yang berisi tawa, canda, bahagia, tangis, sedih, dan duka. Dan tiga kata dari belakang itu yang sekarang mengisi hari-hari ku. Aku sangat kecewa dengan bapak. Bapak telah mengabaikan aku dan adik hanya karena ibu Syarifah yang tak berperasaan. Aku tak dianggap anak melainkan sekedar pembantu. Hati ku teriris kecil-kecil laksana aku mencincang bawang merah. Aku terperkosa—jiwa dan raga ku. Mereka menggangap ku sampah. “tidakkkkk………..” hati ku menjerit sakit.

“bapak, engkau memang benar. Aku hanya anak ingusan yang berusia sepuluh tahun. Aku hanya anak yang terlalu hijau untuk mengerti permasalahan keluarga bahkan engkau sangat benar jika aku tak bisa memahami perasaan bapak. Aku mengalah dan aku ingin menangis atas kemisnikan hati bapak untuk memahami perasaan anak mu ini. Aku terluka, bapak. Engkau yang tak mampu meraba hati mu betapa engkau telah buta. Hati ku menggerutu.

Aku tak punya teman untuk bercerita. Tak mungkin aku berbicara pada kakek atau saudara-saudara bapak dan ibu tentang masalah ini. Mulut ku terkunci rapat. Tangan ibu Syarifah menyekap ku paksa. Bila tidak, tangan itu berubah menjadi cemeti yang siap meluluh lantahkan tulang-tulang ini. Diam menjadi pilihan terbaik sepanjang masa. Aku mengalah pada keadaan walau aku tahu, itu tidak baik. Aku hanya berani untuk menyimbolkan perasaan ku melalui coretan tinta hitam. Itupun saat aku berada di sekolah.

Aku menangis…
Aku menangis, ibu!
Hati ku teriris-iris kecil dan rapuh.
Jiwa ku membiru dan pilu.
Jiwa ku! jiwa ini terampas, terkoyak tak menyatu.
Aku ingin bersama mu.
Bersanding dengan mu.
Aku sangat rindu….., ibu!

Alam tak melihat ku!
Mentari tersenyum syahdu.
Tak mengerti isi kalbu—
Lara dan perih yang sengaja membisu.
Aku teraniaya oleh nafsu.

Ini hari terindah dalam penantian ku.
Hari teristimewa selama kepergian mu—
HARI IBU.
Ibu! Ingin ku kau jemput aku…
Di pintu kebahagiaan abadi di sisi mu.
Aku merindukan mu.
Aku kan datang untuk mu!

Karya Shafia untuk Ibu

Kini aku tak perlu menulis puisi untuk membagikan perasaan duka yang selama ini aku alami. Bahkan sekarang aku bahagia—sangat bahagia—karena aku bisa bersanding dengan ibu kandung ku sesuai dengan penggalan isi puisi itu. Tak ada kalimat seru yang menyertai ketika ibu Syarifah menyebut nama ku. Aku bebas dan sangat bebas dari kejamnya dunia ibu Syarifah. Namun demikian, aku harus berterima kasih kepada beliau. Kerena melalui tangan sadisnya, aku bisa bertemu dengan ibu di surga. Kado terindah sepanjang hidup yang diberikan ibu tiri di hari ibu—kematian. Walau sebernya itu bukan jalan terakhir untuk menggapai kebahagiaan hakiki yang ditetapkan oleh agama ku. Aku tak berdaya. Ibu tiri sudah terlanjur menyudahi hidup ku dengan tangannya. Adik, tabahkan hati mu.

Gresik,
20 Desember 2009
Pukul 22:17

Tidak ada komentar: