Tergeletak buku tebal bertuliskan Diary diatas meja belajar Faiz sore itu. Mungkin dia lupa untuk menyimpannya kembali setelah terbiasa menorehkan kisah hidup diatas lembaran putih dengan tinta hitam. Masih terlihat jelas penanya disela-sela lembar dairy petanda batas jauh dia menulis. Aku, teman karib Faiz selama di Uzbekistan, tahu persis kebiasaan temanku ini. Dia sangat suka menulis—kisah pribadi yang tak seharusnya orang lain tahu, tak hanya kisahnya tapi juga kisah teman-temannya yang dianggap unik dan heart-touching.
Ingin rasanya tangan ini menjamah buku itu. Aku sangat penasaran dengan coretan Faiz selama kami tak lagi bersama. Tapi aku tahu, itu tidak bagus. Buku itu adalah privasi Faiz. Meskipun dia adalah teman akrabku. Aku tidak bisa seutuhnya memperkosa hak-hak pribadinya. Aku juga harus bisa memagari area persahabatan dan pribadi seseorang. Ini yang kemudian bisa melanggengkan hubungan kami sampai sekarang.
“Assalamu’alaik ya akhi. Kaifal khayatu ‘indhak?[i]” salam Faiz dengan sumringah[ii] saat membuka pintu kamar.
“Alaikassalam ya akhi. ‘ala maa yuraamu, wa syukraan. Wa kaifa akhwaaluka[iii]?”
“ ‘ala akhsani maa yuraamu, wa syukraan. akuunu farkhaanatan bimoqoobalatika marratan ukhro”[iv] ujar Faiz
“anaa kadzalik”[v]
“kapan antum[vi] tiba di Indonesia?” tanya Faiz antusias
“kemarin sore. Afwan[vii], aku langsung nyelonong ke kamarmu. Umi antum yang mempersilahkanku masuk”
“biasanya ‘kan seperti itu” sahut Faiz sambil terbahak-bahak.
Akhirnya canda tawa kami memecahkan suasana rumah Faiz yang terbiasa sunyi dan hening. Maklum, penghuni rumah ini terbiasa pergi ke pesantren saat menjelang sore. Sangat lama kami tidak lagi bercengkerama setelah aku harus kembali ke Uzbekistan dua tahun yang lalu untuk menuntaskan studiku.
“ssstttt… kapan antum kenalkan aku dengan wanita yang antum ceritakan di e-mail itu?” bisikku ke Faiz dengan canda.
“afwan, Faiq. Aku tidak mau membahas tentang dia. Tiga hari ini aku berusaha untuk mengubur ingatanku tentang dia. Dia tak sebaik yang aku kira” Tutur Faiz kepada dengan pelan.
“tapi kenapa, Faiz? Bagaimana itu bisa terjadi?”
“antum bisa membaca semuanya di dairyku. Aku telah menumpakah semua perasaanku disana. Aku malas untuk bercerita ulang tentang dia. Sangat menyakitkan!!!”
“Afwan, Faiz. Aku tidak bermaksud membuat antum sedih dan kembali terpuruk karena seorang wanita. Aku tidak mengerti akan hal ini”
“tidak apa, Faiq. Coba antum baca saja di dairy itu! Dairy itu sengaja aku buat hanya untuk menulis kisah kasihku dengan dia. Antum tak akan menemui coretan lain di dalamnya kecuali tentang dia—yang telah membuatku tak lagi mempercayainya”
Diary itu tepat berada di hadapanku. Aku coba gerakkan tangan ini membuka perlahan lembarannya. Lembar pertama tertulis besar dengan huruf balok; CORETAN KISAH KASIH ANTARA AKU DAN DIA. Kemudian aku lanjutkan pada lembar kedua. Tertulis jelas; Akhirnya aku melabuhkan sebagian jiwa ini untuknya. Aku berharap dia adalah wanita pilihan utusan Allah untuk hambanya ini. Semoga Allah menjaga dan meridloi hubungan baik ini sampai aku benar-benar yakin dan mampu meng-khitbah dia untuk menjadi pasangan kekalku di dunia. Hanya pilihan-Nya yang aku harapkan menjadi pendamping hidup selama nyawa dan raga ini bersatu utuh agar aku menjadi bagian dari manusia yang berkesempatan masuk ke surga-Nya bersama orang-orang pilihan.
Lembaran-lembaran pertama diary itu menceritakan tentang uniknya hubungan Faiz dan Niswah, bagaimana mereka kali pertama bertemu dan bertegur sapa, bagaimana mereka sering bertemu dan akhirnya saling mengakui perasaannya satu sama lain. “hhmmm…. Faiz bisa juga ya seperti ini” gumamku dalam hati sembari tertawa kecil, “begitu romantis tak seperti yang dia ceritakan di e-mail”
“…..aku nggak tahu, tiba-tiba perasaan ini ada dalam hati ini. Aku juga nggak tahu apa ini cinta atau bukan. Yang jelas, aku merasa bahagia bila melihat mu…. Apa kamu juga merasakan hal yang sama dengan apa yang sedang aku rasakan??? Hhhmmm……” penggalan isi dairy itu.
Lanjut cerita, perasaan Faiz akhirnya terbalas. Niswah juga mengakui bahwa dia memiliki perasaan yang sama ketika Faiz menanyakan hal itu melalui Short Message Service (layanan pesan singkat). Meskipun aku tidak tahu persis bagaimana ekspresi Faiz saat itu. Namun, aku bisa menebak bahwa dia sangat bahagia. Terlihat jelas hal itu melalui coretannya;
“…….ckakakakakkkkkk,,, Akhirnya, Niswah juga mencintaiku. Tak habis pikir, dia juga menyimpan perasaan yang sama. Padahal, saat ketemu aku. Dia biasa-biasa saja. Bahkan aku tak melihat tanda-tanda itu. ANEH TAPI ASYIK!!!!! Prikitiuwww…….”
Faiz juga sempat memperhatikan Niswah berulang-ulang bahkan memandangnya berkali-kali meskipun dia paham betul bahwa sebenarnya itu adalah maksiat. Dan, tak sepantasnya dia melakukan itu.
“……..Subhanallah. Dia sangat anggun dengan balutan busana itu. Dia tampak lucu dan manis. ………astaghfirullahal ‘adhim….., tak seharusnya aku memandangnya berulang-ulang. Cukup sekali aku melihatnya sebagai nikmat yang telah Allah berikan…. Selebihnya adalah dosa yang akan menuntunku ke neraka. Naudzubillah mindzalik……..”
Inilah yang kemudian banyak orang lalai dan menjerumuskan mereka bersama syetan ke neraka. Sebab itulah, Ustadz Habib—pemangku ponpes Darul Falach di Uzbekistan—mewanti-wanti kami saat di pesantren agar benar-benar menjaga jarak hubungan dengan lawan jenis. Beliau sering mengulang-ngulang kalimat, “walaa taqrobuz zinaa, innahu kaana faakhisyatan wasaa a sabiila”[viii] saat pengajian sore. Memang itu sangat berat bagi kami kaum muda-mudi. Namun itu adalah kewajiban yang setiap pemeluk islam harus pegang teguh. Banyak hal sepele yang kadang kami anggap biasa dalam masyarakat. Namun, itu adalah pelanggaran menurut syariat. Satu misal seperti apa yang dilakukan Faiz atau berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom.
Selanjutnya aku jumpai tulisan-tulisan Faiz yang mulai bermasalah. Dari keraguan untuk meresmikan hubungannya sampai tanda titik yang mengakhiri tulisannya sekaligus menutup dairy itu. Tiada lagi coretan yang membuatku menggigil cekikikan karena lucu. Semuaya datar bahkan membuatku hatiku tergetar.
“……benar adanya bahwa aku menyayangimu. Benar adanya bahwa aku mencintaimu. Dan, benar adanya bahwa kamu adalah wanita yang membuatku tersenyum kembali. NAMUN, aku ragu untuk menjadikanmu sebagai pendamping hidupku kelak. Ada satu hal yang aku sendiri juga tak tahu membuatku tak berani maju untuk medeklarasikan hubungan kita. Sehingga aku menanyakan kembali pada diriku dan dirimu, apa benar bahwa perasaan ini adalah perasaan cinta seorang lelaki kepada seorang wanita pada umumnya? Bukan rasa cinta atau sayang kakak lelaki kapada adik perempuannya……..”
“……..sampai suara muadzin yang terdengar jelas di tengah-tengah desaku shubuh itu, aku tetap tak bisa memejamkan mata ini. Aku berpikir, “benarkah aku mencintaimu? Dan benarkah kamu mencintaiku?....... bila kamu menyerahkan jawaban ini kepada waktu, aku tak bisa berdiri dan bertahan dengan tanggapan itu. Itu bukan hal yang adil. Tak sepantasnya waktu memegang andil dalam hubungan ini. Kita kaum terpelajar, pasti tahu kemana hubungan ini harus bermuara……”
“…… kenapa kamu menjadi orang lain dan meminta aku untuk meninggalkanmu? Kenapa kamu sendiri yang bilang bahwa aku akan sangat menyesal bila aku tetap mencintaimu? Aku benar-benar tak mengerti!!!!.........aku tahu itu adalah kamu walau kamu menggunakan nomer lain”
“………kemarin kamu mencoba untuk menjauhiku. Entah apa yang membuatmu seperti ini. Sekarang kamu memaksa aku untuk membencimu dengan menjelek-jelekkan diri mu sendiri. Tak se-instant yang kamu minta, ini adalah tentang perasaan. Tak mudah aku bermain di area ini. Aku butuh waktu untuk mencintai atau membenci seseorang. Sebenarnya apa yang kamu inginkan????...........”
“…….kenapa kamu tak mau menjelaskan kepada ku apa alasanmu melakukan ini semua? Kenapa pula kamu diam seolah tak mempunyai salah dan beban? Kamu berjalan dihadapanku tanpa senyum dan kata. Bila perpisahan yang membuatmu kembali tersenyum dan mampu berkata-kata, sebaiknya kita melupakan apa yang telah pernah terjadi diantara kita. Anggap kita tidak pernah mengunggkapkan perasaan itu. Dan, anggap kita baru ketemu. Bila perlu, saya akan memperkenalkan diriku kembali seperti kali pertama kita berjumpa di Ponpes Syafi’iyah. Saat kamu memandangku dan aku menghampirimu, “Assalamu’alaikum, ma’dzirotun. Hal tasma’u lii an u’arrifa nafsiyabik? ismi Faiz Hamid Abdullah. Wa man ismuki?[ix] ……..”
“…….aku sangat kecewa dengan mu tapi aku bahagia sudah mengenalmu. Aku mencoba untuk menunggu penjelasanmu. Namun, sampai saat ini tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirmu. Aku menganggap bahwa kamu telah mengakhiri hubungan ini. Dan, aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah kamu berikan ke aku. Aku tak akan lagi menuntut penjelasanmu. Aku mencoba untuk tegar dan melepasmu pergi. Aku minta maaf tak bisa membuatmu tersenyum.………. Wa ilal liqooi[x]….ukhti Ifadh Ihya’un Niswah……TAMAT……..”
Aku sebenarnya masih bertanya-tanya dalam hati kecilku kenapa Niswah melakukan itu. Dia pasti memiliki alasan besar yang mungkin dia tak berani untuk mengunggapkannya. Walau begitu asumsiku, aku tak berani untuk melontarkan unek-unek ini lebih jauh kepada Faiz. Mungkin dia masih kecewa dengan sikap dan sifat Niswah itu sampai dia menyuruhku membaca diary-nya daripada harus bercerita sendiri. Semoga suatu masa, saat waktu ingin menunjukkan perannya, rahasia ini akan terkuak dan bermuara pada tempat yang tepat. Aku juga tak bisa menilai Niswah toh aku belum tahu penuh tentang dia.
“dhung…dhung…dhung…”
“Allahu akbar….Allahu akbar…” suara adzan seakan memekakkan telinga pasalnya rumah Faiz tepat di sebelah masjid.
“Alhamdulillah…. Sudah adzan. Ayo, Faiq! Kita ke dapur dulu. Umi pasti sudah menyiapkan menu berbuka yang lezat untuk mu” ajak Faiz berbuka puasa.
12:43
30 Agustus 2010
[i] apa kabar?
[ii] bahagia
[iii] Baik-baik saja, terima kasih. Dan bagaimana kabarmu?
[iv] Baik-baik saja, terima kasih. Senang bisa bertemu kamu kembali.
[v] Saya juga demikian.
[vi] kamu
[vii] maaf
[viii] Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk
[ix] Maaf, bolehkan saya memperkenalkan diri kepada anda? Nama saya Faiz Hamid Abdullah. Dan siapa namamu?
[x] Selamat berpisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar