“aku tak mengerti Kang, tiba-tiba saja perasaan ini tumbuh pada diriku. Aku juga tak bisa menamai apakah ini perasaan cinta atau sekedar kagum. Setidaknya aku berani mengakui dan menyatakan bahwa aku menyimpan perasaan ini pada kang Ahmed” tutur Siti pada Ahmed.
“bagaimana bisa kamu mempunyai perasaan itu pada ku, Siti? Kita belum lama mengenal. Kamu belum mengerti siapa aku, bagimana latar belakang keluarga ku, dan bahkan kamu tak mengerti karakter ku.” tanya Ahmed seraya kebingungan.
“aku mengagumi Kang Ahmed” jawab Siti singkat.
“apa yang kamu kagumi dari aku, Siti? Aku tak mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan, aku bukan terlahir dari keluarga berada, aku bukan tipe orang yang suka berpergian bersama wanita, aku hanya orang biasa, aku…..”
“aku mengagumi pengetahuan agama Kang Ahmed. Aku mendambakan sosok imam seperti Kang Ahmed kelak ketika aku berumah tangga!” sahut Siti memotong penjelasan Ahmed.
“itu hanya sebatas perasaan kagum, Siti. Tak lebih dari itu!” Tegas Ahmed kembali.
“iya, Kang. Mungkin ini hanya sebatas perasaan kagum. Tak lebih dari itu. Bila Kang Ahmed meyakini seperti itu. Terima kasih sudah meyakinkan Siti kalau apa yang aku rasakan ini tak lebih dari sebuah kekaguman.” Ujar Siti melemah akan perasaannya.
Ahmed, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta, tak bisa menerima fakta bahwa Siti memiliki sebuah perasaan cinta padanya setelah selesai menempuh tugas kuliah. Ahmed tak percaya apa yang dirasakan Siti adalah sebuah perasaan cinta. Pasalnya, mereka baru mengenal tak lebih dari delapan puluh tujuh hari. Waktu yang terlalu singkat untuk mendiagnosa bahwa perasaan yang dimiliki Siti adalah benar-benar perasaan cinta.
Mereka dipertemukan saat menempuh program kuliah kerja nyata di Wonosari, Gunung Kidul bersama dengan enam belas mahasiswa lainnya. Tak lebih dari tiga bulan mereka tinggal disana, tentu tak seatap. Lingkungan Wonosari membuat kelompok kerja tersebut lelap dalam hitungan bulan. Udara segar, sejuk nan pemandangan yang asri membuat mereka betah bahkan menikmati tugas berat kampus di sana walau mereka harus berpisah dengan keluarga. Apalagi, masyarakatnya yang merakyat. Ramah dan penuh keakraban. Semua terasa indah dan penuh kenangan.
Diam-diam Siti telah membukukan kenangan itu di benakknya hingga suatu hari ia mempublikasikan pada Ahmed satu dari ribuan kenangan terindahnya. Tak menduga, kenangan terindah itu adalah Ahmed. Siti menyukainya. Tentunya ini adalah diluar sepengetahuan Ahmed karena Siti tak memperlihatkan gelagat cintanya itu saat mereka bersama-sama di Wonosari. Ahmed tak menduga jika Siti diam-diam memandang Ahmed dengan penuh pesona.
Namun, cinta Siti nampaknya tidak mendapat respon positif dari Ahmed karena dia benar-benar takut bahwa perasaan yang dimiliki Siti hanya sebatas kekaguman, tak lebih dari itu. Ahmed terlalu hijau untuk memahami apa arti cinta sesunggunya. Karena dia memiliki ribuan perspektif makna cinta yang dia peroleh dari pertualangan cinta sahabat-sahabatnya. Cinta tak sekedar dari sebuah pelampisan—ego dan nafsu. Itu salah satu makna cinta yang membayangi Ahmed terhadap cinta yang ditawarkan Siti padanya. Jika benar itu adanya, dia takut rahmat Allah akan menjauhinya.
Ahmed bukanlah orang yang suci, bersih, dan putih hatinya. Ahmed juga tak menampik bahwa dia juga memiliki perasaan sama dengan lelaki pada umumnya—menyukai wanita. Ahmed juga mengiyakan bahwa dirinya tak lebih dari orang biasa. Karena kehidupan yang biasa itulah, dia menganggap bahwa hubungan pertemanan yang tak biasa akan menempatkan dirinya pada posisi serba salah. Bagaimana ini bisa? Lihat saja, tak jarang beberapa pasangan mengorbankan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi mereka bahkan merelakan diri kelak sebagai bahan bakar neraka karena berbuat zina. Bila salah satu pasangan menolak untuk bersuara “iya”—sepakat untuk berbuat sama—maka percekcokan yang berujung pada permusuhan bahkan pembunuhan keluar sebagai jalan akhirnya. Jika benar ini adanya, lantas kenapa harus menjalin pertemanan tak biasa? Susah!!!
Nampaknya Ahmed dihadapkan pada dilema cinta; memilih cinta untuk sahabat atau kekasih. Detik menyatu menjadi menit, menit menggumpal menjadi jam, dan jam menggunung menjadi hari. Ya, berhari-hari dilema cinta ini melintas di benak Ahmed setelah program kampus itu usai dan tak lagi bertemu dengan Siti di kampus. Rasa bersalah karena tak memberikan kepastian akan sebuah ungkapan perasaan seorang wanita nampaknya masih menhantui Ahmed akhir-akhir ini. Dia tak memiliki keputusan untuk mengatakan iya atau tidak karena keraguan akan perasaan Siti sesungguhnya. Perasaan yang tak seharusnya diabaikan bahkan dipermainkan. Aksi merupakan bentuk apresiasi sebuah ekspresi. Lalu kenapa Ahmed tak juga memberikan aksi atas ekspresi Siti?
Ahmed masih membutukan banyak waktu untuk berkontemplasi menentukan jalan terbaik baginya. Dia kembali mengatakan bahwa ini adalah masalah surga dan neraka. Bukan masalah senang atau tidaknya. Bila salah dia memilih maka dia akan menjadi ahli neraka hanya karena wanita. Terlalu jauh sebenarnya Ahmed berpikir kesana. Dia tak memikirkan perasaan Siti bahkan dia mengabaikan waktu yang merupakan penantian menyiksa bagi Siti. Inikah bentuk perjuangan cinta Siti?
Namun, bukankah untuk mendapatkan cinta sejati penuh dengan perjuangan dan tantangan yang tak berujung? Bukankah untuk mendapatkan cinta sejati tak mengenal lelah untuk menanti atau menunggu? Bukakankah untuk mendapatkan cinta sejati tak peduli siang dan malam? Dan bukankah untuk mendapatkan cinta sejati bagai mencari peniti di gundukan jerami? Lantas, apakah Siti telah memahami ini semua untuk mendapatkan cinta sejatinya? Mungkin ini yang ditakutkan Ahmed bila cinta Siti bukan cinta sejatinya maka hanya akan ada nafsu diantara mereka. Lebih baik tidak terjadi untuk selamanya bila harus menyakiti keduanya.
*****
Sinar pagi itu menerobos celah jendela rumah Ahmed menerawang dia terdiam terpaku mendengarkan radio yang besuara lirih di pojok peristirahatannya. Lirik lagu itu menggambarkan sebuah perjuangan cinta yang tiada akhir hingga maut tak lagi memberikan kesempatan baginya untuk beraksi. Menanti, menunggu dan berharap kelak akan mendapati cinta sejati.
Biar kuungkap cinta
Cinta begitu besar
Biarkan itu menjadi
Rasa indah yang ku miliki
Cinta tak sepantasnya
Tertutup tertepis saja
Biarku ungkap semua
Perasaanku terhadap mu
Ku pasti bisa bahagiakan dirimu
Secepatnya sebekunya takkan perasaanku
Slama ini
Biarkan kini ku tunggu pasti
Jawabanmu membalas cintaku
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku pasti kan sampai mati
Janganlah ada ragu dihati
Ku tak akan membuatmu terluka
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku tulus kan sampai mati
Biarkan kini ku tunggu pasti
Jawabanmu membalas cintaku
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku pasti kan sampai mati
Janganlah ada ragu dihati
Ku tak akan membuatmu terluka
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku tulus kan sampai mati
“Assalamualaikum……..” berkali-kali suara itu menggaung di rumah Ahmed seraya mengetuk pintu. Namun, Ahmed masih saja merenung dan menikmati indahnya lirik lagu yang dibawakan grup band ternama, ST 12, setelah bersih-bersih di halaman rumah. Tak satupun orang yang mendengar suara lantang itu di rumah.
“Assalamualaikum!!!!!” suara itu semakin kencang menggaung.
“waalaikum salam…….ngapunten, pak. Mboten keprengu.” Jawab Ahmed tergopoh-gopoh, “wonten nopo, ngge?” Tanya Ahmed sambil melihat sepeda oranye bapak setengah matang itu.
“oh, ini mas. Dapat kiriman pos.”
“matur nuwon, pak.”
Tak jarang Ahmed mendapat kiriman pos di rumahnya, tapi tidak untuk warna amplop yang satu ini. Ahmed merasa penasaran hingga dia mendapati alamat pengirim surat ini. Di situ tertulis; American Corner Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo Resource Center (MBRC), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kampus UI, Depok 16424. Dia semakin penasaran apa isi surat itu. Akhirya perlahan dia membuka surat itu. Tiba-tiba saja, mata Ahmed berkaca-kaca tetapi dia tersenyum lebar.
“ibu…..” teriak Ahmed sambil menemui ibunya di dapur.
“ono opo toh le?” Tanya ibu Ahmed kebingungan.
“aku dapat beasiswa ke Amerika selama dua tahun untuk S2. Ini kan yang ibu dan bapak harapkan. Ini berarti aku tidak kalah dengan Mas Parto dan Mbak Umi yang ibu bangga-banggakan pernah sekolah di luar negeri.”
“beneran toh le?”
“ini barusan pak pos ngasi surat ini. Aku arep nang Jakarta bu minggu ngajeng kangge pelatihan. Aku bunga bu. Wulan ngajeng kulo badhe tindak Amerika, bu. Nyuwon pandhongane, bu”
Rupanya amplop cokelat itu berisi berkas beasiswa ke Amerika untuk Ahmed. Ini sangat menyenangkan bagi Ahmed dan keluarga karena ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu. Lantas, bagaimana dengan Siti? Akankan cinta Siti akan pudar dengan kepergian Ahmed ke luar negeri? Hanya Allah yang tahu akhir catatan cerita cinta Siti kelak. Tak ada yang bias menampik pasangan hidup manusia. Itu adalah keputusan mutlak yang tak bisa digugat dan diperkarakan. Wallahualam…..
Gresik, 28 Maret 2010
08:17
“bagaimana bisa kamu mempunyai perasaan itu pada ku, Siti? Kita belum lama mengenal. Kamu belum mengerti siapa aku, bagimana latar belakang keluarga ku, dan bahkan kamu tak mengerti karakter ku.” tanya Ahmed seraya kebingungan.
“aku mengagumi Kang Ahmed” jawab Siti singkat.
“apa yang kamu kagumi dari aku, Siti? Aku tak mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan, aku bukan terlahir dari keluarga berada, aku bukan tipe orang yang suka berpergian bersama wanita, aku hanya orang biasa, aku…..”
“aku mengagumi pengetahuan agama Kang Ahmed. Aku mendambakan sosok imam seperti Kang Ahmed kelak ketika aku berumah tangga!” sahut Siti memotong penjelasan Ahmed.
“itu hanya sebatas perasaan kagum, Siti. Tak lebih dari itu!” Tegas Ahmed kembali.
“iya, Kang. Mungkin ini hanya sebatas perasaan kagum. Tak lebih dari itu. Bila Kang Ahmed meyakini seperti itu. Terima kasih sudah meyakinkan Siti kalau apa yang aku rasakan ini tak lebih dari sebuah kekaguman.” Ujar Siti melemah akan perasaannya.
Ahmed, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta, tak bisa menerima fakta bahwa Siti memiliki sebuah perasaan cinta padanya setelah selesai menempuh tugas kuliah. Ahmed tak percaya apa yang dirasakan Siti adalah sebuah perasaan cinta. Pasalnya, mereka baru mengenal tak lebih dari delapan puluh tujuh hari. Waktu yang terlalu singkat untuk mendiagnosa bahwa perasaan yang dimiliki Siti adalah benar-benar perasaan cinta.
Mereka dipertemukan saat menempuh program kuliah kerja nyata di Wonosari, Gunung Kidul bersama dengan enam belas mahasiswa lainnya. Tak lebih dari tiga bulan mereka tinggal disana, tentu tak seatap. Lingkungan Wonosari membuat kelompok kerja tersebut lelap dalam hitungan bulan. Udara segar, sejuk nan pemandangan yang asri membuat mereka betah bahkan menikmati tugas berat kampus di sana walau mereka harus berpisah dengan keluarga. Apalagi, masyarakatnya yang merakyat. Ramah dan penuh keakraban. Semua terasa indah dan penuh kenangan.
Diam-diam Siti telah membukukan kenangan itu di benakknya hingga suatu hari ia mempublikasikan pada Ahmed satu dari ribuan kenangan terindahnya. Tak menduga, kenangan terindah itu adalah Ahmed. Siti menyukainya. Tentunya ini adalah diluar sepengetahuan Ahmed karena Siti tak memperlihatkan gelagat cintanya itu saat mereka bersama-sama di Wonosari. Ahmed tak menduga jika Siti diam-diam memandang Ahmed dengan penuh pesona.
Namun, cinta Siti nampaknya tidak mendapat respon positif dari Ahmed karena dia benar-benar takut bahwa perasaan yang dimiliki Siti hanya sebatas kekaguman, tak lebih dari itu. Ahmed terlalu hijau untuk memahami apa arti cinta sesunggunya. Karena dia memiliki ribuan perspektif makna cinta yang dia peroleh dari pertualangan cinta sahabat-sahabatnya. Cinta tak sekedar dari sebuah pelampisan—ego dan nafsu. Itu salah satu makna cinta yang membayangi Ahmed terhadap cinta yang ditawarkan Siti padanya. Jika benar itu adanya, dia takut rahmat Allah akan menjauhinya.
Ahmed bukanlah orang yang suci, bersih, dan putih hatinya. Ahmed juga tak menampik bahwa dia juga memiliki perasaan sama dengan lelaki pada umumnya—menyukai wanita. Ahmed juga mengiyakan bahwa dirinya tak lebih dari orang biasa. Karena kehidupan yang biasa itulah, dia menganggap bahwa hubungan pertemanan yang tak biasa akan menempatkan dirinya pada posisi serba salah. Bagaimana ini bisa? Lihat saja, tak jarang beberapa pasangan mengorbankan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi mereka bahkan merelakan diri kelak sebagai bahan bakar neraka karena berbuat zina. Bila salah satu pasangan menolak untuk bersuara “iya”—sepakat untuk berbuat sama—maka percekcokan yang berujung pada permusuhan bahkan pembunuhan keluar sebagai jalan akhirnya. Jika benar ini adanya, lantas kenapa harus menjalin pertemanan tak biasa? Susah!!!
Nampaknya Ahmed dihadapkan pada dilema cinta; memilih cinta untuk sahabat atau kekasih. Detik menyatu menjadi menit, menit menggumpal menjadi jam, dan jam menggunung menjadi hari. Ya, berhari-hari dilema cinta ini melintas di benak Ahmed setelah program kampus itu usai dan tak lagi bertemu dengan Siti di kampus. Rasa bersalah karena tak memberikan kepastian akan sebuah ungkapan perasaan seorang wanita nampaknya masih menhantui Ahmed akhir-akhir ini. Dia tak memiliki keputusan untuk mengatakan iya atau tidak karena keraguan akan perasaan Siti sesungguhnya. Perasaan yang tak seharusnya diabaikan bahkan dipermainkan. Aksi merupakan bentuk apresiasi sebuah ekspresi. Lalu kenapa Ahmed tak juga memberikan aksi atas ekspresi Siti?
Ahmed masih membutukan banyak waktu untuk berkontemplasi menentukan jalan terbaik baginya. Dia kembali mengatakan bahwa ini adalah masalah surga dan neraka. Bukan masalah senang atau tidaknya. Bila salah dia memilih maka dia akan menjadi ahli neraka hanya karena wanita. Terlalu jauh sebenarnya Ahmed berpikir kesana. Dia tak memikirkan perasaan Siti bahkan dia mengabaikan waktu yang merupakan penantian menyiksa bagi Siti. Inikah bentuk perjuangan cinta Siti?
Namun, bukankah untuk mendapatkan cinta sejati penuh dengan perjuangan dan tantangan yang tak berujung? Bukankah untuk mendapatkan cinta sejati tak mengenal lelah untuk menanti atau menunggu? Bukakankah untuk mendapatkan cinta sejati tak peduli siang dan malam? Dan bukankah untuk mendapatkan cinta sejati bagai mencari peniti di gundukan jerami? Lantas, apakah Siti telah memahami ini semua untuk mendapatkan cinta sejatinya? Mungkin ini yang ditakutkan Ahmed bila cinta Siti bukan cinta sejatinya maka hanya akan ada nafsu diantara mereka. Lebih baik tidak terjadi untuk selamanya bila harus menyakiti keduanya.
*****
Sinar pagi itu menerobos celah jendela rumah Ahmed menerawang dia terdiam terpaku mendengarkan radio yang besuara lirih di pojok peristirahatannya. Lirik lagu itu menggambarkan sebuah perjuangan cinta yang tiada akhir hingga maut tak lagi memberikan kesempatan baginya untuk beraksi. Menanti, menunggu dan berharap kelak akan mendapati cinta sejati.
Biar kuungkap cinta
Cinta begitu besar
Biarkan itu menjadi
Rasa indah yang ku miliki
Cinta tak sepantasnya
Tertutup tertepis saja
Biarku ungkap semua
Perasaanku terhadap mu
Ku pasti bisa bahagiakan dirimu
Secepatnya sebekunya takkan perasaanku
Slama ini
Biarkan kini ku tunggu pasti
Jawabanmu membalas cintaku
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku pasti kan sampai mati
Janganlah ada ragu dihati
Ku tak akan membuatmu terluka
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku tulus kan sampai mati
Biarkan kini ku tunggu pasti
Jawabanmu membalas cintaku
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku pasti kan sampai mati
Janganlah ada ragu dihati
Ku tak akan membuatmu terluka
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku tulus kan sampai mati
“Assalamualaikum……..” berkali-kali suara itu menggaung di rumah Ahmed seraya mengetuk pintu. Namun, Ahmed masih saja merenung dan menikmati indahnya lirik lagu yang dibawakan grup band ternama, ST 12, setelah bersih-bersih di halaman rumah. Tak satupun orang yang mendengar suara lantang itu di rumah.
“Assalamualaikum!!!!!” suara itu semakin kencang menggaung.
“waalaikum salam…….ngapunten, pak. Mboten keprengu.” Jawab Ahmed tergopoh-gopoh, “wonten nopo, ngge?” Tanya Ahmed sambil melihat sepeda oranye bapak setengah matang itu.
“oh, ini mas. Dapat kiriman pos.”
“matur nuwon, pak.”
Tak jarang Ahmed mendapat kiriman pos di rumahnya, tapi tidak untuk warna amplop yang satu ini. Ahmed merasa penasaran hingga dia mendapati alamat pengirim surat ini. Di situ tertulis; American Corner Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo Resource Center (MBRC), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kampus UI, Depok 16424. Dia semakin penasaran apa isi surat itu. Akhirya perlahan dia membuka surat itu. Tiba-tiba saja, mata Ahmed berkaca-kaca tetapi dia tersenyum lebar.
“ibu…..” teriak Ahmed sambil menemui ibunya di dapur.
“ono opo toh le?” Tanya ibu Ahmed kebingungan.
“aku dapat beasiswa ke Amerika selama dua tahun untuk S2. Ini kan yang ibu dan bapak harapkan. Ini berarti aku tidak kalah dengan Mas Parto dan Mbak Umi yang ibu bangga-banggakan pernah sekolah di luar negeri.”
“beneran toh le?”
“ini barusan pak pos ngasi surat ini. Aku arep nang Jakarta bu minggu ngajeng kangge pelatihan. Aku bunga bu. Wulan ngajeng kulo badhe tindak Amerika, bu. Nyuwon pandhongane, bu”
Rupanya amplop cokelat itu berisi berkas beasiswa ke Amerika untuk Ahmed. Ini sangat menyenangkan bagi Ahmed dan keluarga karena ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu. Lantas, bagaimana dengan Siti? Akankan cinta Siti akan pudar dengan kepergian Ahmed ke luar negeri? Hanya Allah yang tahu akhir catatan cerita cinta Siti kelak. Tak ada yang bias menampik pasangan hidup manusia. Itu adalah keputusan mutlak yang tak bisa digugat dan diperkarakan. Wallahualam…..
Gresik, 28 Maret 2010
08:17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar