Me at A glaNce

Foto saya
GRESIK BERHIAS IMAN merupakan slogan kota kelahiranku. sekarang aku menempuh pendidikan S1 di Surabaya State University, The faculty of Language and Art, English Department. pendidikan ini aku peroleh karena aku berkesempatan mendapat beasiswa mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Mindset "The Beauty of Writing" tertanam sejak aku berada di bangku MTs setelah mengirim karya tulis ke Deteksi Jawa Pos. hobi menulis ku ini tertampung di media sekolah sampai akhirnya aku menjabat sebagai pemimpin redaksi mading SMA dan Reporter Majalah PROSPEK. it's amazing experience actually! sebelum aku menetap di kota Pahlawan untuk merampungkan studi ku, aku menulis sebuah buku panduan kepramukaan untuk adik didik ku di alamamaterku dan sekarang mencoba mengukir kembali buku baru yang berjudul " Scouting Guide " yang aku dedikasikan untuk mereka pula. aku temukan the great spirit of writing here. "Dahaga Akan Cinta dan Rindu Rosulillah" merupakan puisi ku yang menduduki posisi ketiga dalam lomba menulis puisi cinta untuk Rosulullah di Universitas Negeri Surabaya. (email: ali_rosyidi51@yahoo.com)

Senin, 24 Januari 2011

She wanna say . . .

The Pink Box Love

( by Raudatul Ula )


In Texas, lived an office worker man named Stephen. Stephen was only 28-year-old accountant in a textile company with not more than US $300 monthly income. He went to his office by an old scooter passing a narrow street in order to avoid the traffic jam in the work time. Stephen was known as the most diligent worker in the office. He never came late.

One day, when he was going to his office, in the narrow street, he got a trouble in his scooter. It couldn’t work even he tried to switched it on for several times. Fortunately, there came a beautiful woman riding her scooter. She offered Stephen a help. She let him to his office by her scooter. By the time, Stephen fell in love to the woman. He loved the woman very much even he didn’t know the woman’s name. He couldn’t sleep properly because he couldn’t stop thinking of the woman. He was eager to know the woman’s name, address, and soon to propose her to be his wife.

The following day Stephen wrote a letter. The letter told about Stephen’s feeling. He put the letter in a pink box and put it in the edge of the narrow street. He was sure that the woman would notice that the letter was from Stephen. He wrote big letter outside the box by “To the Scooter Girl from the Scooter Boy”. When Stephen was back from his office, he wondered to see a pink box written “To the Scooter Boy from the Scooter Girl”. He was so happy because the woman replied his letter. From the letter he knew that the woman’s name was Emily. Emily stated that she also loved him. That was days of happiness for Stephen because he found his soul mate. They were continuing sending letters by the same way. After two months passed, Stephen asked the woman to have a meeting on next Saturday night in the narrow street. Then they met each other to share their love. They passed the night romantically. Stephen said that he would come to meet Emily’s parents to propose her to be his wife on next February 14th 1992. It was just a month to go.

The day was come. Stephen visited Emily’s home. It was a big cozy house with a wide park and two cars in its garage. Stephen realized that Emily was a true low profile woman he had ever seen. He thought that he was in the right way loving such perfect nature woman like Emily. Emily’s parents welcome him well. They were so kind. But Stephen wondered why Emily didn’t come to see him. Then, Emily’s father started the conversation. He said that he had already known about Stephen’s intention to come to their home. He thanked to Stephen for loving his daughter. But he said that Emily had gone to French for a better job. Stephen was extremely disappointed about the Emily’s father saying. He blamed himself that he loved a wrong woman. Emily was from a rich family. She was impossible to love a poor worker as him.

The days after, Stephen swore to himself that he won’t love any woman anymore. He must work so hard and then showed to Emily’s parents that he was able to be a rich man. Stephen was taking an extra work. All the day, all the night, he kept working. Finally, not more than ten years, he was promoted as a branch director of his company. He earned more than US $3000 a month. He was able to change his scooter to become a luxurious Mercedes Benz S800 car.

In one little rainy Saturday afternoon on February, 14th 2000, while he was driving his luxurious Mercedes Benz, Stephen saw an old couple holding a pink box. They were crossing the road and entered to a cemetery park in the edge of the road. He noticed that they were Emily’s parents. He drove his car slowly to meet them. As the same way, Emily’s parents were still kind people. They gave the pink box to Stephen and let him to a grave. There were nine pink boxes on the grave. He wondered that the gravestone was written by the name of “Emily Bloomwood”. Emily’s father told Stephen that Emily loved him so much. She didn’t want to hurt him by knowing that she was injured by chronic deathly blood cancer. She asked her parents to come to her grave on February 14th to put one pink box containing letter which was sent by Stephen to her every year until one day Stephen came to take it all and noticed that she loved him so much. That day was the tenth box. Stephen realized that the day he proposed Emily, Emily had been already died. Stephen genuflected near Emily’s grave and hugged it by crying. He was sorry about the misunderstanding and then he realized that Emily was truly a right woman he had ever seen.

The Pink Box Love

Kamis, 20 Januari 2011

DIARY RAMADLAN (Bag. II)

Tak biasanya langit meneteskan air mata di tengah malam. Irama tetesannya yang bersenandung diatas atap kamar Faiz membuatku terbangun. Entah langit hanya ingin berbagi rasa atau bahkan menambah gelisah makhluk dunia. Sejatinya air mata itu merupakan nikmat Sang pencipta yang wajib disyukuri. Namun, kadang sebagian manusia menganggap itu adalah bencana. Allah Maha Bijaksana. Dia Maha Mengetahui segala apa yang manusia tak sanggup mencapainya; termasuk satu aksi yang menyebabkan dua reaksi itu. Dibalik semua itu pasti ada maksud tersirat tertuju untuk manusia. Ah! Aku terlalu awam untuk bercerita lebih jauh tentang fenomena alam dan sosial. Yang jelas, air mata langit itu tak mampu mendinginkan hati Faiz yang terlanjur menganga. Tiba-tiba, ak jauh dari kamar Faiz terdengar lantunan suara yang bermunajat kepada Allah. Lekas aku menyadari, Faiz tidak ada di kamar. Dan, tentu suara itu adalah suara Faiz.

“…….Ya Allah, sesungguhnya aku minta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu, dan aku mohon kekuasaan-Mu untuk mengatasi persoalanku dengan ke-Maha Kuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa ukhti Ifadh Ihya’un Niswah lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku—dunia dan akhirat. Takdirkanlah dia untukku, mudahkan-lah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa dia lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkanlah dia dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku……“ Doa faiz malam itu.

Aku tahu, Faiz masih menyimpan perasaan kepada Niswah. Dia tak akan semudah itu melupakan Niswah. Lidah bisa bekata lain namun hati tak bisa dipungkiri; Faiz masih mengharapkan Niswah untuk kembali. Semoga malam ini merupakan malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan, dimana turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Allah untuk mengatur segala urusan, sehingga akan ada kebaikan dan kemuliaan di hari-hari berikutnya bagi Faiz. Kemudian kaki ini melangkah menuju tempat persucian dan lekas bersujud kepada Sang Khaliq.

*****

Hujan tadi malam menyisakan hawa dingin. Pagi itu embun masih menyetubuhi dedaunan ketika Jangkrik bersenandung merdu. Meskipun demikian, tak jarang warga desa berduyung-duyung menuju masjid untuk beri’tikaf sembari menunggu jamaah sholat shubuh. Pemandangan yang tak biasa aku lihat di hari-hari biasa. Seusai keluarga Faiz selesai sahur, kami pun berangkat bersama-sama ke masjid. “hayya binaa nakhruju ila masjid yaa Faiq[i] ajak Faiz.

Tiba-tiba saja ponsel Faiz berdering keras hingga terdengar sampai di teras rumah. Dia ingin mengabaikan panggilan itu tetapi berkali-kali ponsel itu berdering.

“coba lihat siapa yang telpon! Mungkin saja penting sampai telpon jam segini. Biar aba, umi dan Hafsah berangkat dulu” tuturku memberi saran.

“kalau begitu, kami berangkat dulu. Lihat dulu siapa yang telpon. Benar kata Faiq, mungkin ada yang peting hingga telpon pagi-pagi ini” ujar Aba kepada Faiz.

Kemudian Faiz bergegas masuk rumah dan mengambil ponselnya di kamar yang tak jauh dari pintu utama.

“Niswah?” ujar Faiz ketika melihat layar ponselnya, “ada apa dia telpon aku sepagi ini?” tanya dalam hatinya.

assalamu’alaikum” salam Faiz saat menerima panggilan itu

“wa’alaikumsalam, kaifa akhbaaruka hadza shobakha?[ii] jawab Niswah

“bi khoiri, wa sykuron. Wa kaifa anti?[iii]

“wa anaa bikhoiri aidhon, wa syukron. Anaa muta assifun alaa iz’ajii iyyaka[iv] tutur Niswah

“maa fii dzaalik bi syain[v]. Hanya saja saya ini tadi mau berangkat ke masjid bersama keluarga dan teman”

“idzan, sa atashilu bika tilfuuniyyan marratan ukhro[vi]

“laa, Niswah! Saya harap semuanya bisa cepat selesai. Aku harap kamu bisa memahami perasaanku. Dan, aku menginginkan penjelasanmu kenapa kamu melakukan itu semua kepadaku”

“afwan, aku memang salah. Aku menyesal. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menyakinkan diriku kalau kamu benar-benar cinta aku sehingga aku memakai nomer ponsel lain dan berpura-pura menjadi orang lain. Aku ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaanmu kepadaku ketika aku menjelek-jelekkan diriku. Mungkin caraku salah di matamu, tapi aku melakukan itu semata hanya untuk memastikan bahwa kamu bisa menerima aku apa adanya. Aku benar-benar mencintaimu, Faiz. Maafkan aku?” penjelasan Niswah kepada Faiz.

“kamu tak sepantasnya melakukan itu, Niswah. Ini yang kemudian membuatku ragu. Kamu tidak sepenuhnya mempercayaiku. Kamu meragukan cintaku. Kalau memang kamu ragu, sebaiknya hubungan ini sampai disini saja. Aku tidak mau menghabiskan waktu kita hanya dalam keraguan dan berujung pada perpisahan”

“aku harap kita bisa memulai hubungan ini dari awal. Dan, tidak akan ada lagi kebohongan diantara kita”

“tidak, Niswah. Aku tidak bisa memulai semua dari awal. Afwan?” tegas Faiz

“tut….tut…tut….” suara yang terdengar dari ponsel Faiz, “halo…Niswah…halo…” ujar Faiz.

Akhirnya Faiz keluar rumah dan bercerita bahwa panggilan tadi adalah Niswah. Namun sebelum semuanya terselesaikan, tiba-tiba permbicarannya putus. Faiz juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Mungkin Niswah sengaja mematikan ponselnya ketika mengetahui bahwa Faiz tidak bisa memulai semuanya dari awal atau karena alasan lain seperti baterainya lemah, sinyalnya putus atau beberapa kemungkinan lain.

“kenapa kamu tidak bisa menjalin hubungan itu lagi, Faiz? Niswah kan sudah mengakui semua kesalahannya dan kesalahan itu tidak fatal menurutku. Dia melakukan itu semata hanya untuk kebaikan kalian. Dia hanya ingin tahu bahwa kamu benar-benar mencintainya apapun keadaannya” tuturku.

“siapa yang bilang kalau aku tidak bisa menjalin hubungan itu lagi?” tanya Faiz kembali

“saat Niswah menanyakan kesangguapanmu untuk memulai hubungan kalian dari awal, nyatanya kamu tidak bisa. Apakah itu tidak berarti bahwa kamu menolaknya?! Tentu, dia menganggap bahwa kamu tidak mencintainya lagi. Padahal, aku tahu bahwa kamu sangat mencintainya ‘kan?”

“bukan itu yang aku maksud, aku tak sanggup memulai hubungan kami dari awal, Faiq. Tapi, aku minta semua yang sudah terjadi itu menjadi pengalaman kami untuk melangkah ke depan dalam menjalin hubungan kami. Sejatinya pengalaman adalah guru yang terbaik. Sebab itulah, aku tidak bisa kalau harus memulai hubungan kami dari awal, dari nol” tutur Faiz

“semoga saja Niswah bisa memahami itu! Kamu harus bisa menjelaskannya”

“kita berangkat ke masjid dulu. Nanti aku akan menghubunginya lagi. Saya sudah lega, setidaknya aku tahu bahwa Niswah benar-benar mencintaiku. Ukhibbuki aidlon[vii] ukhti Ifadh Ihya’un Niswah” ujar Faiz sambil tertawa.

*****

“assalamu’alaikum”

“wa’alaikumsalam warahmatullah. Beberapa minggu ini kog nggak kelihatan main ke rumah. Nak Faiz sibuk?”

“iya, pak dhe. Ada tugas dari pesantren. Niswahnya ada, pak dhe?”

“iya, ada. Masih berkemas. Nak Faiz toh yang mau ngantar Niswah ke terminal?”

“ke terminal pak dhe? Emang Niswah mau pergi kemana?”

“di pesantren kan sudah musim liburan, nak Faiz. Jadi, dia mau mudik. Saya pikir nak Faiz sudah tahu dan mau mengantarkan dia ke terminal”

“O, gitu pak dhe. Saya belum tahu pak dhe. Saya bisa bicara dengan Niswah, pak dhe?

“silahkan duduk. Biar pak dhe panggilkan”

Faiz begitu cemas. Dia tak mengerti kalau Niswah akan kembali ke kota. Dia sempat berpikir apa dia penyebabnya. Apa karena Niswah salah paham dengan perkatan Faiz tadi pagi pasalnya tiba-tiba telpon mereka terputus? Tiba-tiba Niswah keluar. Seperti biasa, Niswah begitu anggun dengan busana muslimnya. Dia agak takut bila harus berbicara dengan menatap penuh mataku sehingga sesekali dia menundukkan muka atau memandang sesuatu yang tidak jelas.

“assalamu’alaikum”

“wa’alaikumsalam. Niswah, kenapa kamu pergi? Apa kamu pergi karena aku yang tak mau memulai dari awal hubungan kita? Kamu salah paham, Niswah. Aku sangat mencintaimu. Aku mohon kamu jangan pergi. Aku tak bisa kalau harus berpisah jauh denganmu”

“Faiz, syukron katsiron[viii] sudah memaafkan ku. Aku pulang bukan karena mu”

“terus karena apa?”

“kamu tahu kan seluruh keluargaku di kota. Dan disini, aku hanya tinggal dengan pak dhe Jamil. Sebentar lagi juga mau lebaran”

“tapi kamu akan segera kembali untukku ‘kan?” tanya Faiz, “iya kan?”

Senyum manis Niswah telah menjawab semua dan mengukuhkan hubungan mereka kembali. Hanya ada tawa di teras rumah pak dhe Jamil pagi itu. Rupanya kupu-kupu yang berterbangan di deretan pot bunga depan rumah pak dhe Jamil ikut serta merayakan kebahagiaan Faiz dan Niswah. Terbang kesana kemari seakan ingin menyampaikan pesan, “jagalah hubungan kalian dengan berkiblat pada syariat agama. Jangan mengedepakan nafsu sesaat bila kalian ingin selamat; fii dunyaa wal akhiroh[ix]

5 September 2010 (12.21)

[i] Mari kita berangkat ke masjid Faiq

[ii] Bagaimana kabarmu pagi ini?

[iii] Baik, terima kasih. Dan bagaimana kabarmu?

[iv] Saya juga baik, terima kasih. Saya minta maaf sudah mengganggu kamu

[v] Tidak apa-apa

[vi] Kalau begitu saya akan menelponmu lain kali.

[vii] Saya juga mencintaimu

[viii] Terima kasih banyak

[ix] Di dunia dan akhirat

DIARY RAMADLAN (Bag. I)

Tergeletak buku tebal bertuliskan Diary diatas meja belajar Faiz sore itu. Mungkin dia lupa untuk menyimpannya kembali setelah terbiasa menorehkan kisah hidup diatas lembaran putih dengan tinta hitam. Masih terlihat jelas penanya disela-sela lembar dairy petanda batas jauh dia menulis. Aku, teman karib Faiz selama di Uzbekistan, tahu persis kebiasaan temanku ini. Dia sangat suka menulis—kisah pribadi yang tak seharusnya orang lain tahu, tak hanya kisahnya tapi juga kisah teman-temannya yang dianggap unik dan heart-touching.

Ingin rasanya tangan ini menjamah buku itu. Aku sangat penasaran dengan coretan Faiz selama kami tak lagi bersama. Tapi aku tahu, itu tidak bagus. Buku itu adalah privasi Faiz. Meskipun dia adalah teman akrabku. Aku tidak bisa seutuhnya memperkosa hak-hak pribadinya. Aku juga harus bisa memagari area persahabatan dan pribadi seseorang. Ini yang kemudian bisa melanggengkan hubungan kami sampai sekarang.

“Assalamu’alaik ya akhi. Kaifal khayatu ‘indhak?[i] salam Faiz dengan sumringah[ii] saat membuka pintu kamar.

“Alaikassalam ya akhi. ‘ala maa yuraamu, wa syukraan. Wa kaifa akhwaaluka[iii]?”

‘ala akhsani maa yuraamu, wa syukraan. akuunu farkhaanatan bimoqoobalatika marratan ukhro”[iv] ujar Faiz

“anaa kadzalik”[v]

“kapan antum[vi] tiba di Indonesia?” tanya Faiz antusias

“kemarin sore. Afwan[vii], aku langsung nyelonong ke kamarmu. Umi antum yang mempersilahkanku masuk”

“biasanya ‘kan seperti itu” sahut Faiz sambil terbahak-bahak.

Akhirnya canda tawa kami memecahkan suasana rumah Faiz yang terbiasa sunyi dan hening. Maklum, penghuni rumah ini terbiasa pergi ke pesantren saat menjelang sore. Sangat lama kami tidak lagi bercengkerama setelah aku harus kembali ke Uzbekistan dua tahun yang lalu untuk menuntaskan studiku.

“ssstttt… kapan antum kenalkan aku dengan wanita yang antum ceritakan di e-mail itu?” bisikku ke Faiz dengan canda.

“afwan, Faiq. Aku tidak mau membahas tentang dia. Tiga hari ini aku berusaha untuk mengubur ingatanku tentang dia. Dia tak sebaik yang aku kira” Tutur Faiz kepada dengan pelan.

“tapi kenapa, Faiz? Bagaimana itu bisa terjadi?”

“antum bisa membaca semuanya di dairyku. Aku telah menumpakah semua perasaanku disana. Aku malas untuk bercerita ulang tentang dia. Sangat menyakitkan!!!”

“Afwan, Faiz. Aku tidak bermaksud membuat antum sedih dan kembali terpuruk karena seorang wanita. Aku tidak mengerti akan hal ini”

“tidak apa, Faiq. Coba antum baca saja di dairy itu! Dairy itu sengaja aku buat hanya untuk menulis kisah kasihku dengan dia. Antum tak akan menemui coretan lain di dalamnya kecuali tentang dia—yang telah membuatku tak lagi mempercayainya”

Diary itu tepat berada di hadapanku. Aku coba gerakkan tangan ini membuka perlahan lembarannya. Lembar pertama tertulis besar dengan huruf balok; CORETAN KISAH KASIH ANTARA AKU DAN DIA. Kemudian aku lanjutkan pada lembar kedua. Tertulis jelas; Akhirnya aku melabuhkan sebagian jiwa ini untuknya. Aku berharap dia adalah wanita pilihan utusan Allah untuk hambanya ini. Semoga Allah menjaga dan meridloi hubungan baik ini sampai aku benar-benar yakin dan mampu meng-khitbah dia untuk menjadi pasangan kekalku di dunia. Hanya pilihan-Nya yang aku harapkan menjadi pendamping hidup selama nyawa dan raga ini bersatu utuh agar aku menjadi bagian dari manusia yang berkesempatan masuk ke surga-Nya bersama orang-orang pilihan.

Lembaran-lembaran pertama diary itu menceritakan tentang uniknya hubungan Faiz dan Niswah, bagaimana mereka kali pertama bertemu dan bertegur sapa, bagaimana mereka sering bertemu dan akhirnya saling mengakui perasaannya satu sama lain. “hhmmm…. Faiz bisa juga ya seperti ini” gumamku dalam hati sembari tertawa kecil, “begitu romantis tak seperti yang dia ceritakan di e-mail”

“…..aku nggak tahu, tiba-tiba perasaan ini ada dalam hati ini. Aku juga nggak tahu apa ini cinta atau bukan. Yang jelas, aku merasa bahagia bila melihat mu…. Apa kamu juga merasakan hal yang sama dengan apa yang sedang aku rasakan??? Hhhmmm……” penggalan isi dairy itu.

Lanjut cerita, perasaan Faiz akhirnya terbalas. Niswah juga mengakui bahwa dia memiliki perasaan yang sama ketika Faiz menanyakan hal itu melalui Short Message Service (layanan pesan singkat). Meskipun aku tidak tahu persis bagaimana ekspresi Faiz saat itu. Namun, aku bisa menebak bahwa dia sangat bahagia. Terlihat jelas hal itu melalui coretannya;

“…….ckakakakakkkkkk,,, Akhirnya, Niswah juga mencintaiku. Tak habis pikir, dia juga menyimpan perasaan yang sama. Padahal, saat ketemu aku. Dia biasa-biasa saja. Bahkan aku tak melihat tanda-tanda itu. ANEH TAPI ASYIK!!!!! Prikitiuwww…….”

Faiz juga sempat memperhatikan Niswah berulang-ulang bahkan memandangnya berkali-kali meskipun dia paham betul bahwa sebenarnya itu adalah maksiat. Dan, tak sepantasnya dia melakukan itu.

“……..Subhanallah. Dia sangat anggun dengan balutan busana itu. Dia tampak lucu dan manis. ………astaghfirullahal ‘adhim….., tak seharusnya aku memandangnya berulang-ulang. Cukup sekali aku melihatnya sebagai nikmat yang telah Allah berikan…. Selebihnya adalah dosa yang akan menuntunku ke neraka. Naudzubillah mindzalik……..”

Inilah yang kemudian banyak orang lalai dan menjerumuskan mereka bersama syetan ke neraka. Sebab itulah, Ustadz Habib—pemangku ponpes Darul Falach di Uzbekistan—mewanti-wanti kami saat di pesantren agar benar-benar menjaga jarak hubungan dengan lawan jenis. Beliau sering mengulang-ngulang kalimat, “walaa taqrobuz zinaa, innahu kaana faakhisyatan wasaa a sabiila”[viii] saat pengajian sore. Memang itu sangat berat bagi kami kaum muda-mudi. Namun itu adalah kewajiban yang setiap pemeluk islam harus pegang teguh. Banyak hal sepele yang kadang kami anggap biasa dalam masyarakat. Namun, itu adalah pelanggaran menurut syariat. Satu misal seperti apa yang dilakukan Faiz atau berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom.

Selanjutnya aku jumpai tulisan-tulisan Faiz yang mulai bermasalah. Dari keraguan untuk meresmikan hubungannya sampai tanda titik yang mengakhiri tulisannya sekaligus menutup dairy itu. Tiada lagi coretan yang membuatku menggigil cekikikan karena lucu. Semuaya datar bahkan membuatku hatiku tergetar.

“……benar adanya bahwa aku menyayangimu. Benar adanya bahwa aku mencintaimu. Dan, benar adanya bahwa kamu adalah wanita yang membuatku tersenyum kembali. NAMUN, aku ragu untuk menjadikanmu sebagai pendamping hidupku kelak. Ada satu hal yang aku sendiri juga tak tahu membuatku tak berani maju untuk medeklarasikan hubungan kita. Sehingga aku menanyakan kembali pada diriku dan dirimu, apa benar bahwa perasaan ini adalah perasaan cinta seorang lelaki kepada seorang wanita pada umumnya? Bukan rasa cinta atau sayang kakak lelaki kapada adik perempuannya……..”

“……..sampai suara muadzin yang terdengar jelas di tengah-tengah desaku shubuh itu, aku tetap tak bisa memejamkan mata ini. Aku berpikir, “benarkah aku mencintaimu? Dan benarkah kamu mencintaiku?....... bila kamu menyerahkan jawaban ini kepada waktu, aku tak bisa berdiri dan bertahan dengan tanggapan itu. Itu bukan hal yang adil. Tak sepantasnya waktu memegang andil dalam hubungan ini. Kita kaum terpelajar, pasti tahu kemana hubungan ini harus bermuara……”

“…… kenapa kamu menjadi orang lain dan meminta aku untuk meninggalkanmu? Kenapa kamu sendiri yang bilang bahwa aku akan sangat menyesal bila aku tetap mencintaimu? Aku benar-benar tak mengerti!!!!.........aku tahu itu adalah kamu walau kamu menggunakan nomer lain”

“………kemarin kamu mencoba untuk menjauhiku. Entah apa yang membuatmu seperti ini. Sekarang kamu memaksa aku untuk membencimu dengan menjelek-jelekkan diri mu sendiri. Tak se-instant yang kamu minta, ini adalah tentang perasaan. Tak mudah aku bermain di area ini. Aku butuh waktu untuk mencintai atau membenci seseorang. Sebenarnya apa yang kamu inginkan????...........”

“…….kenapa kamu tak mau menjelaskan kepada ku apa alasanmu melakukan ini semua? Kenapa pula kamu diam seolah tak mempunyai salah dan beban? Kamu berjalan dihadapanku tanpa senyum dan kata. Bila perpisahan yang membuatmu kembali tersenyum dan mampu berkata-kata, sebaiknya kita melupakan apa yang telah pernah terjadi diantara kita. Anggap kita tidak pernah mengunggkapkan perasaan itu. Dan, anggap kita baru ketemu. Bila perlu, saya akan memperkenalkan diriku kembali seperti kali pertama kita berjumpa di Ponpes Syafi’iyah. Saat kamu memandangku dan aku menghampirimu, “Assalamu’alaikum, ma’dzirotun. Hal tasma’u lii an u’arrifa nafsiyabik? ismi Faiz Hamid Abdullah. Wa man ismuki?[ix] ……..”

“…….aku sangat kecewa dengan mu tapi aku bahagia sudah mengenalmu. Aku mencoba untuk menunggu penjelasanmu. Namun, sampai saat ini tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirmu. Aku menganggap bahwa kamu telah mengakhiri hubungan ini. Dan, aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah kamu berikan ke aku. Aku tak akan lagi menuntut penjelasanmu. Aku mencoba untuk tegar dan melepasmu pergi. Aku minta maaf tak bisa membuatmu tersenyum.………. Wa ilal liqooi[x]….ukhti Ifadh Ihya’un Niswah……TAMAT……..”

Aku sebenarnya masih bertanya-tanya dalam hati kecilku kenapa Niswah melakukan itu. Dia pasti memiliki alasan besar yang mungkin dia tak berani untuk mengunggapkannya. Walau begitu asumsiku, aku tak berani untuk melontarkan unek-unek ini lebih jauh kepada Faiz. Mungkin dia masih kecewa dengan sikap dan sifat Niswah itu sampai dia menyuruhku membaca diary-nya daripada harus bercerita sendiri. Semoga suatu masa, saat waktu ingin menunjukkan perannya, rahasia ini akan terkuak dan bermuara pada tempat yang tepat. Aku juga tak bisa menilai Niswah toh aku belum tahu penuh tentang dia.

“dhung…dhung…dhung…”

“Allahu akbar….Allahu akbar…” suara adzan seakan memekakkan telinga pasalnya rumah Faiz tepat di sebelah masjid.

“Alhamdulillah…. Sudah adzan. Ayo, Faiq! Kita ke dapur dulu. Umi pasti sudah menyiapkan menu berbuka yang lezat untuk mu” ajak Faiz berbuka puasa.

12:43

30 Agustus 2010

[i] apa kabar?

[ii] bahagia

[iii] Baik-baik saja, terima kasih. Dan bagaimana kabarmu?

[iv] Baik-baik saja, terima kasih. Senang bisa bertemu kamu kembali.

[v] Saya juga demikian.

[vi] kamu

[vii] maaf

[viii] Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk

[ix] Maaf, bolehkan saya memperkenalkan diri kepada anda? Nama saya Faiz Hamid Abdullah. Dan siapa namamu?

[x] Selamat berpisah

CINTA JANGAN DINANTI

“aku tak mengerti Kang, tiba-tiba saja perasaan ini tumbuh pada diriku. Aku juga tak bisa menamai apakah ini perasaan cinta atau sekedar kagum. Setidaknya aku berani mengakui dan menyatakan bahwa aku menyimpan perasaan ini pada kang Ahmed” tutur Siti pada Ahmed.
“bagaimana bisa kamu mempunyai perasaan itu pada ku, Siti? Kita belum lama mengenal. Kamu belum mengerti siapa aku, bagimana latar belakang keluarga ku, dan bahkan kamu tak mengerti karakter ku.” tanya Ahmed seraya kebingungan.
“aku mengagumi Kang Ahmed” jawab Siti singkat.
“apa yang kamu kagumi dari aku, Siti? Aku tak mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan, aku bukan terlahir dari keluarga berada, aku bukan tipe orang yang suka berpergian bersama wanita, aku hanya orang biasa, aku…..”
“aku mengagumi pengetahuan agama Kang Ahmed. Aku mendambakan sosok imam seperti Kang Ahmed kelak ketika aku berumah tangga!” sahut Siti memotong penjelasan Ahmed.
“itu hanya sebatas perasaan kagum, Siti. Tak lebih dari itu!” Tegas Ahmed kembali.
“iya, Kang. Mungkin ini hanya sebatas perasaan kagum. Tak lebih dari itu. Bila Kang Ahmed meyakini seperti itu. Terima kasih sudah meyakinkan Siti kalau apa yang aku rasakan ini tak lebih dari sebuah kekaguman.” Ujar Siti melemah akan perasaannya.
Ahmed, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta, tak bisa menerima fakta bahwa Siti memiliki sebuah perasaan cinta padanya setelah selesai menempuh tugas kuliah. Ahmed tak percaya apa yang dirasakan Siti adalah sebuah perasaan cinta. Pasalnya, mereka baru mengenal tak lebih dari delapan puluh tujuh hari. Waktu yang terlalu singkat untuk mendiagnosa bahwa perasaan yang dimiliki Siti adalah benar-benar perasaan cinta.
Mereka dipertemukan saat menempuh program kuliah kerja nyata di Wonosari, Gunung Kidul bersama dengan enam belas mahasiswa lainnya. Tak lebih dari tiga bulan mereka tinggal disana, tentu tak seatap. Lingkungan Wonosari membuat kelompok kerja tersebut lelap dalam hitungan bulan. Udara segar, sejuk nan pemandangan yang asri membuat mereka betah bahkan menikmati tugas berat kampus di sana walau mereka harus berpisah dengan keluarga. Apalagi, masyarakatnya yang merakyat. Ramah dan penuh keakraban. Semua terasa indah dan penuh kenangan.
Diam-diam Siti telah membukukan kenangan itu di benakknya hingga suatu hari ia mempublikasikan pada Ahmed satu dari ribuan kenangan terindahnya. Tak menduga, kenangan terindah itu adalah Ahmed. Siti menyukainya. Tentunya ini adalah diluar sepengetahuan Ahmed karena Siti tak memperlihatkan gelagat cintanya itu saat mereka bersama-sama di Wonosari. Ahmed tak menduga jika Siti diam-diam memandang Ahmed dengan penuh pesona.
Namun, cinta Siti nampaknya tidak mendapat respon positif dari Ahmed karena dia benar-benar takut bahwa perasaan yang dimiliki Siti hanya sebatas kekaguman, tak lebih dari itu. Ahmed terlalu hijau untuk memahami apa arti cinta sesunggunya. Karena dia memiliki ribuan perspektif makna cinta yang dia peroleh dari pertualangan cinta sahabat-sahabatnya. Cinta tak sekedar dari sebuah pelampisan—ego dan nafsu. Itu salah satu makna cinta yang membayangi Ahmed terhadap cinta yang ditawarkan Siti padanya. Jika benar itu adanya, dia takut rahmat Allah akan menjauhinya.
Ahmed bukanlah orang yang suci, bersih, dan putih hatinya. Ahmed juga tak menampik bahwa dia juga memiliki perasaan sama dengan lelaki pada umumnya—menyukai wanita. Ahmed juga mengiyakan bahwa dirinya tak lebih dari orang biasa. Karena kehidupan yang biasa itulah, dia menganggap bahwa hubungan pertemanan yang tak biasa akan menempatkan dirinya pada posisi serba salah. Bagaimana ini bisa? Lihat saja, tak jarang beberapa pasangan mengorbankan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi mereka bahkan merelakan diri kelak sebagai bahan bakar neraka karena berbuat zina. Bila salah satu pasangan menolak untuk bersuara “iya”—sepakat untuk berbuat sama—maka percekcokan yang berujung pada permusuhan bahkan pembunuhan keluar sebagai jalan akhirnya. Jika benar ini adanya, lantas kenapa harus menjalin pertemanan tak biasa? Susah!!!
Nampaknya Ahmed dihadapkan pada dilema cinta; memilih cinta untuk sahabat atau kekasih. Detik menyatu menjadi menit, menit menggumpal menjadi jam, dan jam menggunung menjadi hari. Ya, berhari-hari dilema cinta ini melintas di benak Ahmed setelah program kampus itu usai dan tak lagi bertemu dengan Siti di kampus. Rasa bersalah karena tak memberikan kepastian akan sebuah ungkapan perasaan seorang wanita nampaknya masih menhantui Ahmed akhir-akhir ini. Dia tak memiliki keputusan untuk mengatakan iya atau tidak karena keraguan akan perasaan Siti sesungguhnya. Perasaan yang tak seharusnya diabaikan bahkan dipermainkan. Aksi merupakan bentuk apresiasi sebuah ekspresi. Lalu kenapa Ahmed tak juga memberikan aksi atas ekspresi Siti?
Ahmed masih membutukan banyak waktu untuk berkontemplasi menentukan jalan terbaik baginya. Dia kembali mengatakan bahwa ini adalah masalah surga dan neraka. Bukan masalah senang atau tidaknya. Bila salah dia memilih maka dia akan menjadi ahli neraka hanya karena wanita. Terlalu jauh sebenarnya Ahmed berpikir kesana. Dia tak memikirkan perasaan Siti bahkan dia mengabaikan waktu yang merupakan penantian menyiksa bagi Siti. Inikah bentuk perjuangan cinta Siti?
Namun, bukankah untuk mendapatkan cinta sejati penuh dengan perjuangan dan tantangan yang tak berujung? Bukankah untuk mendapatkan cinta sejati tak mengenal lelah untuk menanti atau menunggu? Bukakankah untuk mendapatkan cinta sejati tak peduli siang dan malam? Dan bukankah untuk mendapatkan cinta sejati bagai mencari peniti di gundukan jerami? Lantas, apakah Siti telah memahami ini semua untuk mendapatkan cinta sejatinya? Mungkin ini yang ditakutkan Ahmed bila cinta Siti bukan cinta sejatinya maka hanya akan ada nafsu diantara mereka. Lebih baik tidak terjadi untuk selamanya bila harus menyakiti keduanya.
*****
Sinar pagi itu menerobos celah jendela rumah Ahmed menerawang dia terdiam terpaku mendengarkan radio yang besuara lirih di pojok peristirahatannya. Lirik lagu itu menggambarkan sebuah perjuangan cinta yang tiada akhir hingga maut tak lagi memberikan kesempatan baginya untuk beraksi. Menanti, menunggu dan berharap kelak akan mendapati cinta sejati.
Biar kuungkap cinta
Cinta begitu besar
Biarkan itu menjadi
Rasa indah yang ku miliki
Cinta tak sepantasnya
Tertutup tertepis saja
Biarku ungkap semua
Perasaanku terhadap mu
Ku pasti bisa bahagiakan dirimu
Secepatnya sebekunya takkan perasaanku
Slama ini
Biarkan kini ku tunggu pasti
Jawabanmu membalas cintaku
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku pasti kan sampai mati
Janganlah ada ragu dihati
Ku tak akan membuatmu terluka
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku tulus kan sampai mati
Biarkan kini ku tunggu pasti
Jawabanmu membalas cintaku
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku pasti kan sampai mati
Janganlah ada ragu dihati
Ku tak akan membuatmu terluka
Cintamu jangan dinanti-nanti
Cintaku tulus kan sampai mati
“Assalamualaikum……..” berkali-kali suara itu menggaung di rumah Ahmed seraya mengetuk pintu. Namun, Ahmed masih saja merenung dan menikmati indahnya lirik lagu yang dibawakan grup band ternama, ST 12, setelah bersih-bersih di halaman rumah. Tak satupun orang yang mendengar suara lantang itu di rumah.
“Assalamualaikum!!!!!” suara itu semakin kencang menggaung.
“waalaikum salam…….ngapunten, pak. Mboten keprengu.” Jawab Ahmed tergopoh-gopoh, “wonten nopo, ngge?” Tanya Ahmed sambil melihat sepeda oranye bapak setengah matang itu.
“oh, ini mas. Dapat kiriman pos.”
“matur nuwon, pak.”
Tak jarang Ahmed mendapat kiriman pos di rumahnya, tapi tidak untuk warna amplop yang satu ini. Ahmed merasa penasaran hingga dia mendapati alamat pengirim surat ini. Di situ tertulis; American Corner Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo Resource Center (MBRC), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kampus UI, Depok 16424. Dia semakin penasaran apa isi surat itu. Akhirya perlahan dia membuka surat itu. Tiba-tiba saja, mata Ahmed berkaca-kaca tetapi dia tersenyum lebar.
“ibu…..” teriak Ahmed sambil menemui ibunya di dapur.
“ono opo toh le?” Tanya ibu Ahmed kebingungan.
“aku dapat beasiswa ke Amerika selama dua tahun untuk S2. Ini kan yang ibu dan bapak harapkan. Ini berarti aku tidak kalah dengan Mas Parto dan Mbak Umi yang ibu bangga-banggakan pernah sekolah di luar negeri.”
“beneran toh le?”
“ini barusan pak pos ngasi surat ini. Aku arep nang Jakarta bu minggu ngajeng kangge pelatihan. Aku bunga bu. Wulan ngajeng kulo badhe tindak Amerika, bu. Nyuwon pandhongane, bu”
Rupanya amplop cokelat itu berisi berkas beasiswa ke Amerika untuk Ahmed. Ini sangat menyenangkan bagi Ahmed dan keluarga karena ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu. Lantas, bagaimana dengan Siti? Akankan cinta Siti akan pudar dengan kepergian Ahmed ke luar negeri? Hanya Allah yang tahu akhir catatan cerita cinta Siti kelak. Tak ada yang bias menampik pasangan hidup manusia. Itu adalah keputusan mutlak yang tak bisa digugat dan diperkarakan. Wallahualam…..

Gresik, 28 Maret 2010
08:17

CATATAN DI HARI KE-365

(Dari Bapak dan Ibu untuk Aku)

Nampaknya Dewi Malam tersenyum menyambut pergantian malam tahun baru masehi 2010. Wajahnya terang keemasan memancarkan cahaya seakan mengkiaskan kebahagiaan yang dirasa. Laksana memiliki simpati dan toleransi yang tinggi, ia tak mau menyita rasa itu sendiri. Ia berbagi dengan yang lain melalui pancaran sinar terang wajahnya. Makhluk sekitar dapat pula tersenyum simpul atas kehadirannya. Dewi Malam menemani diri ku saat hari ke tiga ratus enam puluh lima di tahun ini. Aku sendiri—merasa lemah dalam istana kasih seorang ibu yang memagari langkah ku sebagai remaja pada umumnya.
Dewi Malam bisa berbagi kebahagian, bisa memahami perasaan, dan bahkan bisa mengalahkan ego-nya saat Dewi Fortuna memanahkan kemujuran tepat di hatinya. Namun, tidak bagi ibu ku. Dia terlalu konservatif memaknai arti kasih sayang kepada anak semata wayangnya dan terlalu mendalam memahami pengertian cinta pada anak hingga kemeriahan pesta kembang api di pergantian tahun yang dapat dilihat jutaan pasang mata di tengah pusat kota itu tak bisa dinikmati anaknya secara langsung. Terlalu menyakitkan!
Bahwa sejatinya aku ingin bebas dan bebas terbang seperti burung di angkasa bila waktu pulang, dia akan kembali ke sangkar. Arti sebuah kebabasan yang diajarkan induk burung seakan menutup halaman buku ibu yang menjabarkan makna kasih sayang. Itu kebebasan yang aku inginkan walau seutuhnya tak pernah aku dapatkan. Kasih sayang yang ibu terjemahkan, penyiksaan batin yang aku rasakan. Semoga saja, aku salah menafsirkannya walau itu memang benar kenyataannya.
Tak bisa aku mengelak atau menentang keputusan ibu. Baginya hal itu adalah harga mutlak yang tak bisa ditawar lagi. Aku hanya bisa menjerit keras dan sangat sangat keras, itu pun hanya dalam hati. Aku tak bisa merubah apa yang sudah ditetapkannya. Bila aku sedikit bergerak, bapak berdiri tegak dibelakangnya. Sama saja, keduanya memiliki perspektif yang sama—merayakan pergantian tahun tidak harus menggoyangkan pinggul, adu suara motor di jalan, pulang malam hanya untuk melihat kembang api, dan atau berpesta ria bergilir segelas air. Banyak hal positif yang lebih afdlol dilakukan dari pada membuang detik, menit, dan jam untuk hal-hal yang kurang penting bagi diri sendiri.
Ibu sepakat dengan apa yang dikatakan bapak bahwa esensi pergantian tahun adalah suatu perubahan/perpindahan waktu atau masa setelah menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari dalam satu tahun tertentu. “Apa yang harus dirayakan kalau begitu? Jika tahun bertambah, bukankan usia bumi semakin tua dan itu mendekatkan manusia kepada akhir zaman. Kemudian kenapa manusia merayakannya? Kata merayakan identik dengan membahagiakan. Jika manusia dihadapkan dengan akhir zaman—masa yang sangat mengerikan dan dekat dengan kebodohan kemudian mereka merayakannya dan berbahagia, apa itu disebut kaum intelektual?” Tanya bapak.
Ibu juga menambahkan bila esensi pergantian tahun seperti itu adanya maka sebaiknya di akhir detik, menit dan jam sebelum tahun berganti sebaiknya dipergunakan sebagai momentum yang sangat pas untuk introspeksi diri tentang apa yang sudah kita perbuat selama tiga ratus enam puluh lima di tahun ini. Lebih banyak mana bobot positif atau negatif amal perbuatan kita bila ditimbang-timbang? Sehingga kita dapat bercermin dari refleksi tersebut terhadap apa yang seharusnya kita perbuat di tahun mendatang bukan malah melalaikan momentum ini dengan kemeriahan yang tidak jelas ujungnya.
Oleh karena itu, momentum yang pas ini dapat kita isi dengan renungan malam, bertahajjud kepada Allah SWT, memohon ampun atas segala khilaf yang sudah kita perbuat dan memohon hidayah untuk kebaikan di masa mendatang. Hal itu dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dan menambah ketebalan iman dan taqwa kita. Apalagi Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Kesederhaan dalam hidup merupakan kunci untuk mengingat bahwa hidup ini ada yang mengatur sehingga tidak perlu untuk membentangkan ketiak ketika berjalan. Sopan dalam bertindak dan santun dalam bertutur merupakan salah satu kunci untuk menjalani hidup sederhana. Tidak harus berfantasi ria dalam gemilang kehidupan dunia. Mereka yang melakukan itu mungkin mereka benar-benar tidak tahu. Walaupun itu tidak menyalahi aturan agama bahkan undang-undang Negara sekalipun. Namun, bila dihadapkan pada dua pilihan tadi dengan imbalan surga dan neraka sebagai destinasi akhir setelah mati nanti, mana yang akan kau pilih?
Aku sangat menyadari kebijakan ibu dan bapak selama ini adalah untuk menggiring aku ke satu arah, yakni menuju jalan yang digariskan Allah SWT agar aku bisa berkumpul bersama orang-orang terpilih di surga-Nya kelak. Hal yang sangat istimewa dan membanggakan yang patut dijadikan teladan dari ibu dalam mendidik anaknya—pendidikan religi yang mungkin tidak semua anak dapatkan dari ibunya. Ternyata, kasih sayang orang tua benar-benar sepanjang masa, ternyata kadang sebagai anak tidak mampu memaknai perbuatan dan kebijakan orang tua. Orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya.
Akhirnya, aku bisa meneteskan air mata saat benar-benar memahami pelajaran dalam memaknai pergantian tahun ini. Banyak hal sangat penting untuk dilakukan dari pada sekedar melihat kembang api menganga di hamparan langit yang petang menghitam. Terima kasih oh ibu, terima kasih oh bapak. Aku, anakmu, masih membutuhkan tangan mu untuk melangkahkan kaki di bumi ini agar bisa berpijak pada tanah yang benar, tanah yang diridloi oleh Allah SWT.

Usia mu kini bertambah tua
Manusia menjerit tertawa sangat bahagia
Memaknai ini adalah pesta
Ini adalah tabir penghapusan dosa
Dan, membuka lembar putih yang ada

Mereka buta,
Mereka hanya bisa meraba-raba
Ini yang dinamakan pestanya dunia
Bahkan menciutkan arti sesungguhnya—
Dunia menuju fana

Tutuplah mata,
Sekedar ingat dan bayangkan sementara
Logika pergantian tahun dalam makna—
Sebenarnya kau dalam kerugian yang nista.


Gresik, 31 Des ‘09
21:49

KADO HARI IBU DI SURGA

“Shafia!” teriak ibu memanggilku, “darimana saja kamu? Apa kamu tidak mendengar berkali-kali aku memanggil mu? Bereskan barang-barang belanjaan bapak mu di luar! Taruh barang itu di dalam lemari yang paling selatan! Setelah itu kamu ambil ember di sebelah rumah dan angkut semua kotoran ini ke dapur! Ingat! Jangan sampai menyisakan bekas!” berhari-hari kalimat seru itu menyertai teriakan nama ku sebelum aku pergi jauh—tiada yang lagi bisa memandang ku.
Nama ku adalah Shafia. Anak pertama dari pasangan keluarga sederhana yang berprofesi sebagai pedangan bakso keliling di desa. Ibu dan bapak sangat menyayangi ku. Tak pernah mereka menyuruh ini dan itu untuk kepentingan dagang mereka. Hanya saja aku ingin meluangkan waktu ku untuk membantu mereka setelah pulang sekolah—setidaknya mengiris bawang merah dan sesekali memasukkan bumbu ke kuah bakso. Aku masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Sementara adik lelaki ku masih mengeyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak. Meskipun aku, adik, ibu dan bapak terhimpit dalam hidup sederhana, namun kami sangat bersyukur dengan kesederhaan itulah kami bisa merasakan sebuah kebahagiaan. Kami hidup sangat bahagia.
Namun kebahagiaan itu terkubur dalam-dalam seiring pemakaman ibu ku. Ibu meninggal karena menderita penyakit Liver. Ibu tidak pernah cerita atas beban hidupnya. Mungkin karena tidak ingin membagikan penderitaan itu ke anggota keluarga untuk memikirkan pengobatanya. Ibu sangat memamahi kondisi ekonomi kelurga kami. Aku sangat menyesalkan ke-egois-an ibu. Namun semuanya sudah terlambat, ibu sudah tak mampu lagi untuk bercerita dan membagikan penderitaannya.
Penderitaan ku dimulai ketika bapak berpikiran untuk menggantikan posisi ibu di tengah-tengah keluarga kami—bapak ingin menikah lagi. Aku hanya anak yang berusia sepuluh tahun. Aku masih sangat hijau untuk mengerti permasalahan keluarga dan bahkan tak mampu memahami perasaan bapak. Itu anggapan bapak tentang gadis cilik yang ia sayangi saat ibu masih ada. Dan mungkin kasih sayang itu berangsur luntur sekarang. Yang sangat aku sesalkan, bapak ingin menikah sebelum genap empat puluh hari kematian ibu. Bagiku itu terlalu cepat. Aku masih tak bisa melupakan ibu dengan waktu sesingkat itu. Aku sangat menyayangi ibu. Aku masih ingin berada di pelukannya saat aku ingin dimanja. Apalagi adik ku yang sering memanggil-manggil nama ibu. “ibu, kenapa engkau tinggalkan kami secepat itu?” aku meneteskan air mata.
Ternyata bapak tidak main-main dengan pemikirannya, beliau telah membicarakannya dengan anggota keluarga bapak dan ibu setelah sepenggal pemikiran itu melintas di telinga ku beberapa hari yang lalu. Bapak berjanji untuk mencarikan sosok wanita yang dapat menyayangi anak-anaknya, memahami kondisi ekonomi keluarga dan setia kepada bapak tentunya. Semua anggota keluarga sepakat untuk mengatakan iya. “iya, kamu boleh menikah lagi bila kamu mengerti akan hal itu” tegas kakek.
Aku menghargai keputusan bapak untuk menikah lagi. Sebagai anak, aku hanya bisa patuh dan tunduk terhadap apa yang menjadi pilihan bapak sehingga aku berharap apa yang menjadi keputusan bapak ini adalah yang terbaik baik bagi bapak, aku dan adek. Akhirnya, bapak pun menikah dengan wanita yang bernama Syarifah—perawan yang berusia matang di tetangga desa—yang seterusnya ku sebut ibu tiri.

“Shafia, Ahmed, ibu Syarifah adalah ibu baru kalian. Kalian harus memanggil beliau ibu” ujar bapak kepada aku dan adik.
“Ahmed, kemari sayang…..” sahut manis ibu tiri. “ayo Shafia…..salaman sama ibu. Kemari sayang…..ayo kamari!” tambahnya.

Aku masih takut dan malu pada ibu tiri—sosok wanita yang sering digambarkan sebagai tokoh terjahat dalam rumah. Namun, praduga itu aku tepis jauh-jauh. Aku berharap tokoh terjahat itu hanya terjadi pada dunia fiksi. Aku tak menginginkan rumah ku yang damai hancur hanya karena kehadiran ibu Syarifah.
Ibu Syarifah ternyata tidak seperti yang aku dan mungkin orang lain pikirkan. Ibu tiri itu sangat baik dengan ku dan adik apalagi dengan bapak. Bapak kelihatannya sangat bahagia. Beliau dapat tersenyum lepas setelah tiga puluh empat hari kepergian ibu. Aku pun ikut bahagia bila bapak dapat kembali tersenyum. Aku, adek, dan bapak ternyata terlena dengan kehadiran ibu Syarifah. Kami tanpa menyadari telah melupakan ibu yang telah bersanding dengan-Nya. Kami terlalu bahagia dibuat ibu Syarifah.
Namun, kebahagiaan itu tenyata hanya mampir saja, tak kekal menetap untuk menggantikan kesunyian suasana keluarga kami. Tepat sehari setelah empat puluh hari meninggalnya ibu, ibu Syarifah berubah menjadi sosok yang aku takutkan. Beliau sangat kejam dan otoriter—selalu memerintah. Bahkan lebih kejam dari apa yang telah digambarkan dalam cerita fiksi kisah ibu tiri. Ibu Syarifah tidak peduli ada bapak atau tidak, beliau dengan beraninya menyuruh aku mencuci piring, mangkok, dan bahkan baju. Bapak hanya diam bahkan sesekali bilang, “ayo, ndok ! Ibu dibantu biar cepat selesai pekerjaannya.” Kalimat itu pertama kali muncul selama berada di rumah ini. Bapak lebih membela istri barunya dari aku dan adik. Bahkan bapak sering membentak ku hanya karena aku sesekali tidak menyentuh pekerjaan rumah tangga yang seharusnya menjadi kewajiban ibu Syarifah.
Hidup ku hancur tak tertata lagi. Hari-hari ku dipenuhi oleh isak dan tangis. Mengeluh dan bertahan untuk tabah. Bahkan omelan tidak datang dari bapak dan ibu Syarifah, bahkan ibu dan bapak guru di sekolah tak jarang marah dengan ku karena aku sering tidak mengerjakan tugas sekolah. Aku sadar, aku tak pernah berkesempatan untuk membuka bahkan menyentuh apa yang sudah ibu dan bapak guru ajarkan di sekolah setelah aku pulang. Ibu tiri langsung menelurkan petir di terik matahari. “Shafia! Ganti baju dan langsung cincang bawang merah itu!” perintah ibu Syarifah. Hampir tak ada kata yang terucap dari bibir ku dan bila ada, aku memilih untuk menelannya dari pada nanti mendapat pelajaran tambahan di rumah dari ibu Syarifah—cacian dan makian.

“e! kamu nggak ada harganya disini. Bapak mu itu sudah tunduk dengan aku. Apapun yang aku minta, dia akan turuti. Termasuk menitipkan mu di panti asuhan! Hanya saja itu belum waktunya. Toh belum genap seratus hari arwah ibu melayang-layang di langit. Dan ingat, kamu dan adikmu hanya sebagai pembantu di rumah ini. Ingat, PEMBANTU!

Jarum jam berputar menjadi detik, menit, dan jam dan akhirnya mengubah pagi, siang, dan malam untuk bergantian mengisi dunia. Tidak hanya dunia ku namun dunia manusia sejagat raya yang berisi tawa, canda, bahagia, tangis, sedih, dan duka. Dan tiga kata dari belakang itu yang sekarang mengisi hari-hari ku. Aku sangat kecewa dengan bapak. Bapak telah mengabaikan aku dan adik hanya karena ibu Syarifah yang tak berperasaan. Aku tak dianggap anak melainkan sekedar pembantu. Hati ku teriris kecil-kecil laksana aku mencincang bawang merah. Aku terperkosa—jiwa dan raga ku. Mereka menggangap ku sampah. “tidakkkkk………..” hati ku menjerit sakit.

“bapak, engkau memang benar. Aku hanya anak ingusan yang berusia sepuluh tahun. Aku hanya anak yang terlalu hijau untuk mengerti permasalahan keluarga bahkan engkau sangat benar jika aku tak bisa memahami perasaan bapak. Aku mengalah dan aku ingin menangis atas kemisnikan hati bapak untuk memahami perasaan anak mu ini. Aku terluka, bapak. Engkau yang tak mampu meraba hati mu betapa engkau telah buta. Hati ku menggerutu.

Aku tak punya teman untuk bercerita. Tak mungkin aku berbicara pada kakek atau saudara-saudara bapak dan ibu tentang masalah ini. Mulut ku terkunci rapat. Tangan ibu Syarifah menyekap ku paksa. Bila tidak, tangan itu berubah menjadi cemeti yang siap meluluh lantahkan tulang-tulang ini. Diam menjadi pilihan terbaik sepanjang masa. Aku mengalah pada keadaan walau aku tahu, itu tidak baik. Aku hanya berani untuk menyimbolkan perasaan ku melalui coretan tinta hitam. Itupun saat aku berada di sekolah.

Aku menangis…
Aku menangis, ibu!
Hati ku teriris-iris kecil dan rapuh.
Jiwa ku membiru dan pilu.
Jiwa ku! jiwa ini terampas, terkoyak tak menyatu.
Aku ingin bersama mu.
Bersanding dengan mu.
Aku sangat rindu….., ibu!

Alam tak melihat ku!
Mentari tersenyum syahdu.
Tak mengerti isi kalbu—
Lara dan perih yang sengaja membisu.
Aku teraniaya oleh nafsu.

Ini hari terindah dalam penantian ku.
Hari teristimewa selama kepergian mu—
HARI IBU.
Ibu! Ingin ku kau jemput aku…
Di pintu kebahagiaan abadi di sisi mu.
Aku merindukan mu.
Aku kan datang untuk mu!

Karya Shafia untuk Ibu

Kini aku tak perlu menulis puisi untuk membagikan perasaan duka yang selama ini aku alami. Bahkan sekarang aku bahagia—sangat bahagia—karena aku bisa bersanding dengan ibu kandung ku sesuai dengan penggalan isi puisi itu. Tak ada kalimat seru yang menyertai ketika ibu Syarifah menyebut nama ku. Aku bebas dan sangat bebas dari kejamnya dunia ibu Syarifah. Namun demikian, aku harus berterima kasih kepada beliau. Kerena melalui tangan sadisnya, aku bisa bertemu dengan ibu di surga. Kado terindah sepanjang hidup yang diberikan ibu tiri di hari ibu—kematian. Walau sebernya itu bukan jalan terakhir untuk menggapai kebahagiaan hakiki yang ditetapkan oleh agama ku. Aku tak berdaya. Ibu tiri sudah terlanjur menyudahi hidup ku dengan tangannya. Adik, tabahkan hati mu.

Gresik,
20 Desember 2009
Pukul 22:17