Tak biasanya langit meneteskan air mata di tengah malam. Irama tetesannya yang bersenandung diatas atap kamar Faiz membuatku terbangun. Entah langit hanya ingin berbagi rasa atau bahkan menambah gelisah makhluk dunia. Sejatinya air mata itu merupakan nikmat Sang pencipta yang wajib disyukuri. Namun, kadang sebagian manusia menganggap itu adalah bencana. Allah Maha Bijaksana. Dia Maha Mengetahui segala apa yang manusia tak sanggup mencapainya; termasuk satu aksi yang menyebabkan dua reaksi itu. Dibalik semua itu pasti ada maksud tersirat tertuju untuk manusia. Ah! Aku terlalu awam untuk bercerita lebih jauh tentang fenomena alam dan sosial. Yang jelas, air mata langit itu tak mampu mendinginkan hati Faiz yang terlanjur menganga. Tiba-tiba, ak jauh dari kamar Faiz terdengar lantunan suara yang bermunajat kepada Allah. Lekas aku menyadari, Faiz tidak ada di kamar. Dan, tentu suara itu adalah suara Faiz.
“…….Ya Allah, sesungguhnya aku minta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu, dan aku mohon kekuasaan-Mu untuk mengatasi persoalanku dengan ke-Maha Kuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa ukhti Ifadh Ihya’un Niswah lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku—dunia dan akhirat. Takdirkanlah dia untukku, mudahkan-lah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa dia lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkanlah dia dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku……“ Doa faiz malam itu.
Aku tahu, Faiz masih menyimpan perasaan kepada Niswah. Dia tak akan semudah itu melupakan Niswah. Lidah bisa bekata lain namun hati tak bisa dipungkiri; Faiz masih mengharapkan Niswah untuk kembali. Semoga malam ini merupakan malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan, dimana turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Allah untuk mengatur segala urusan, sehingga akan ada kebaikan dan kemuliaan di hari-hari berikutnya bagi Faiz. Kemudian kaki ini melangkah menuju tempat persucian dan lekas bersujud kepada Sang Khaliq.
*****
Hujan tadi malam menyisakan hawa dingin. Pagi itu embun masih menyetubuhi dedaunan ketika Jangkrik bersenandung merdu. Meskipun demikian, tak jarang warga desa berduyung-duyung menuju masjid untuk beri’tikaf sembari menunggu jamaah sholat shubuh. Pemandangan yang tak biasa aku lihat di hari-hari biasa. Seusai keluarga Faiz selesai sahur, kami pun berangkat bersama-sama ke masjid. “hayya binaa nakhruju ila masjid yaa Faiq[i]” ajak Faiz.
Tiba-tiba saja ponsel Faiz berdering keras hingga terdengar sampai di teras rumah. Dia ingin mengabaikan panggilan itu tetapi berkali-kali ponsel itu berdering.
“coba lihat siapa yang telpon! Mungkin saja penting sampai telpon jam segini. Biar aba, umi dan Hafsah berangkat dulu” tuturku memberi saran.
“kalau begitu, kami berangkat dulu. Lihat dulu siapa yang telpon. Benar kata Faiq, mungkin ada yang peting hingga telpon pagi-pagi ini” ujar Aba kepada Faiz.
Kemudian Faiz bergegas masuk rumah dan mengambil ponselnya di kamar yang tak jauh dari pintu utama.
“Niswah?” ujar Faiz ketika melihat layar ponselnya, “ada apa dia telpon aku sepagi ini?” tanya dalam hatinya.
“assalamu’alaikum” salam Faiz saat menerima panggilan itu
“wa’alaikumsalam, kaifa akhbaaruka hadza shobakha?[ii]” jawab Niswah
“bi khoiri, wa sykuron. Wa kaifa anti?[iii]”
“wa anaa bikhoiri aidhon, wa syukron. Anaa muta assifun alaa iz’ajii iyyaka[iv]” tutur Niswah
“maa fii dzaalik bi syain[v]. Hanya saja saya ini tadi mau berangkat ke masjid bersama keluarga dan teman”
“idzan, sa atashilu bika tilfuuniyyan marratan ukhro[vi]”
“laa, Niswah! Saya harap semuanya bisa cepat selesai. Aku harap kamu bisa memahami perasaanku. Dan, aku menginginkan penjelasanmu kenapa kamu melakukan itu semua kepadaku”
“afwan, aku memang salah. Aku menyesal. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menyakinkan diriku kalau kamu benar-benar cinta aku sehingga aku memakai nomer ponsel lain dan berpura-pura menjadi orang lain. Aku ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaanmu kepadaku ketika aku menjelek-jelekkan diriku. Mungkin caraku salah di matamu, tapi aku melakukan itu semata hanya untuk memastikan bahwa kamu bisa menerima aku apa adanya. Aku benar-benar mencintaimu, Faiz. Maafkan aku?” penjelasan Niswah kepada Faiz.
“kamu tak sepantasnya melakukan itu, Niswah. Ini yang kemudian membuatku ragu. Kamu tidak sepenuhnya mempercayaiku. Kamu meragukan cintaku. Kalau memang kamu ragu, sebaiknya hubungan ini sampai disini saja. Aku tidak mau menghabiskan waktu kita hanya dalam keraguan dan berujung pada perpisahan”
“aku harap kita bisa memulai hubungan ini dari awal. Dan, tidak akan ada lagi kebohongan diantara kita”
“tidak, Niswah. Aku tidak bisa memulai semua dari awal. Afwan?” tegas Faiz
“tut….tut…tut….” suara yang terdengar dari ponsel Faiz, “halo…Niswah…halo…” ujar Faiz.
Akhirnya Faiz keluar rumah dan bercerita bahwa panggilan tadi adalah Niswah. Namun sebelum semuanya terselesaikan, tiba-tiba permbicarannya putus. Faiz juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Mungkin Niswah sengaja mematikan ponselnya ketika mengetahui bahwa Faiz tidak bisa memulai semuanya dari awal atau karena alasan lain seperti baterainya lemah, sinyalnya putus atau beberapa kemungkinan lain.
“kenapa kamu tidak bisa menjalin hubungan itu lagi, Faiz? Niswah kan sudah mengakui semua kesalahannya dan kesalahan itu tidak fatal menurutku. Dia melakukan itu semata hanya untuk kebaikan kalian. Dia hanya ingin tahu bahwa kamu benar-benar mencintainya apapun keadaannya” tuturku.
“siapa yang bilang kalau aku tidak bisa menjalin hubungan itu lagi?” tanya Faiz kembali
“saat Niswah menanyakan kesangguapanmu untuk memulai hubungan kalian dari awal, nyatanya kamu tidak bisa. Apakah itu tidak berarti bahwa kamu menolaknya?! Tentu, dia menganggap bahwa kamu tidak mencintainya lagi. Padahal, aku tahu bahwa kamu sangat mencintainya ‘kan?”
“bukan itu yang aku maksud, aku tak sanggup memulai hubungan kami dari awal, Faiq. Tapi, aku minta semua yang sudah terjadi itu menjadi pengalaman kami untuk melangkah ke depan dalam menjalin hubungan kami. Sejatinya pengalaman adalah guru yang terbaik. Sebab itulah, aku tidak bisa kalau harus memulai hubungan kami dari awal, dari nol” tutur Faiz
“semoga saja Niswah bisa memahami itu! Kamu harus bisa menjelaskannya”
“kita berangkat ke masjid dulu. Nanti aku akan menghubunginya lagi. Saya sudah lega, setidaknya aku tahu bahwa Niswah benar-benar mencintaiku. Ukhibbuki aidlon[vii] ukhti Ifadh Ihya’un Niswah” ujar Faiz sambil tertawa.
*****
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam warahmatullah. Beberapa minggu ini kog nggak kelihatan main ke rumah. Nak Faiz sibuk?”
“iya, pak dhe. Ada tugas dari pesantren. Niswahnya ada, pak dhe?”
“iya, ada. Masih berkemas. Nak Faiz toh yang mau ngantar Niswah ke terminal?”
“ke terminal pak dhe? Emang Niswah mau pergi kemana?”
“di pesantren kan sudah musim liburan, nak Faiz. Jadi, dia mau mudik. Saya pikir nak Faiz sudah tahu dan mau mengantarkan dia ke terminal”
“O, gitu pak dhe. Saya belum tahu pak dhe. Saya bisa bicara dengan Niswah, pak dhe?
“silahkan duduk. Biar pak dhe panggilkan”
Faiz begitu cemas. Dia tak mengerti kalau Niswah akan kembali ke kota. Dia sempat berpikir apa dia penyebabnya. Apa karena Niswah salah paham dengan perkatan Faiz tadi pagi pasalnya tiba-tiba telpon mereka terputus? Tiba-tiba Niswah keluar. Seperti biasa, Niswah begitu anggun dengan busana muslimnya. Dia agak takut bila harus berbicara dengan menatap penuh mataku sehingga sesekali dia menundukkan muka atau memandang sesuatu yang tidak jelas.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam. Niswah, kenapa kamu pergi? Apa kamu pergi karena aku yang tak mau memulai dari awal hubungan kita? Kamu salah paham, Niswah. Aku sangat mencintaimu. Aku mohon kamu jangan pergi. Aku tak bisa kalau harus berpisah jauh denganmu”
“Faiz, syukron katsiron[viii] sudah memaafkan ku. Aku pulang bukan karena mu”
“terus karena apa?”
“kamu tahu kan seluruh keluargaku di kota. Dan disini, aku hanya tinggal dengan pak dhe Jamil. Sebentar lagi juga mau lebaran”
“tapi kamu akan segera kembali untukku ‘kan?” tanya Faiz, “iya kan?”
Senyum manis Niswah telah menjawab semua dan mengukuhkan hubungan mereka kembali. Hanya ada tawa di teras rumah pak dhe Jamil pagi itu. Rupanya kupu-kupu yang berterbangan di deretan pot bunga depan rumah pak dhe Jamil ikut serta merayakan kebahagiaan Faiz dan Niswah. Terbang kesana kemari seakan ingin menyampaikan pesan, “jagalah hubungan kalian dengan berkiblat pada syariat agama. Jangan mengedepakan nafsu sesaat bila kalian ingin selamat; fii dunyaa wal akhiroh[ix]”
5 September 2010 (12.21)
[i] Mari kita berangkat ke masjid Faiq
[ii] Bagaimana kabarmu pagi ini?
[iii] Baik, terima kasih. Dan bagaimana kabarmu?
[iv] Saya juga baik, terima kasih. Saya minta maaf sudah mengganggu kamu
[v] Tidak apa-apa
[vi] Kalau begitu saya akan menelponmu lain kali.
[vii] Saya juga mencintaimu
[viii] Terima kasih banyak
[ix] Di dunia dan akhirat