Me at A glaNce

Foto saya
GRESIK BERHIAS IMAN merupakan slogan kota kelahiranku. sekarang aku menempuh pendidikan S1 di Surabaya State University, The faculty of Language and Art, English Department. pendidikan ini aku peroleh karena aku berkesempatan mendapat beasiswa mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Mindset "The Beauty of Writing" tertanam sejak aku berada di bangku MTs setelah mengirim karya tulis ke Deteksi Jawa Pos. hobi menulis ku ini tertampung di media sekolah sampai akhirnya aku menjabat sebagai pemimpin redaksi mading SMA dan Reporter Majalah PROSPEK. it's amazing experience actually! sebelum aku menetap di kota Pahlawan untuk merampungkan studi ku, aku menulis sebuah buku panduan kepramukaan untuk adik didik ku di alamamaterku dan sekarang mencoba mengukir kembali buku baru yang berjudul " Scouting Guide " yang aku dedikasikan untuk mereka pula. aku temukan the great spirit of writing here. "Dahaga Akan Cinta dan Rindu Rosulillah" merupakan puisi ku yang menduduki posisi ketiga dalam lomba menulis puisi cinta untuk Rosulullah di Universitas Negeri Surabaya. (email: ali_rosyidi51@yahoo.com)

Sabtu, 21 Februari 2009

NOSTALGIA text of d'KOST

KOST IN MEMORIAM

(Kesalahan Yang Terabaikan)


Matanya sayu dan layu. Terlalu banyak mengalirkan air mata. Walau sebenarnya itu tidak perlu. Tapi aku bisa memahaminya. Hatinya rapuh, perasaannya sedih. Dan aku bisa menebaknya. Karena aku berkali-kali mengalaminya. Tapi kali ini dia harus merasakannya—demi masa depannya. Sering kali aku menangis dan meragukan apakah dia bisa hidup setegar aku. Hidup yang dipenuhi dengan pengorbanan dan kemandirian kala itu. Walau banyak teman-temanku menggonggong aku adalah anak yang terbuang, anak yang tak diharapkan orang tuanya untuk pulang. Tapi, aku menganggap mereka tongue-slipped. Sebenarnya mereka ingin mengatakan, “Al, kamu orang yang mandiri, aku bangga memiliki teman seperti mu.” Mereka saja yang pemalu, bahkan gengsi untuk mengakuinya. Hidup jauh dari sanak famili memang kadang menyakitkan dan menyedihkan. Tetapi, disanalah kamu akan menemukan jati diri. Siapa sebenarnya kamu. Dan merenungi kenapa kamu dilahirkan ke dunia.

Arini adalah anak pertama ku yang akan sedang merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswi perantauan. Jauh dari bapak dan ibunya. Jauh dari lingkungan pertamanya. Beasiswa ADS mengantarkannya ke Monas University di Australia. Kami sekeluarga—kakek neneknya, istiku, dan kedua adiknya—mengantarnya ke bandara untuk kali pertama. Sebenarnya aku menangis bangga mempunyai anak seperti Arini yang cerdas dan berbakat. Aku berharap kelak dia menyandang gelar sarjananya mampu merubah nasib dirinya, keluarganya dan negaranya ke arah yang lebih baik.

Sepanjang jalan menuju bandara, aku teringat ketika aku masih menjadi seorang mahasiswa. Aku masak dan cuci baju sendiri. Walau begitu aku bukanlah satu-satunya mahasiswa yang memiliki aktivitas rutin seperti ini. Sebut saja Joni, dia juga aktif memasak di kos. Malah dia lebih jago dari pada aku. Banyak variasi menu makan yang bisa dia buat. Berbeda dengan aku yang hanya bisa menghidangkan “tempe penyet” untuk menu makan pagi, siang dan malam. Tapi, aku bersyukur karena masih bisa makan. Hal yang tak akan pernah aku lupakan adalah memiliki sahabat-sahabat aneh yang kadang menyebalkan dan menyenangkan.

Angga dan Bowo adalah dua sahabat dekat ku di kos. Mereka bermuka garang tetapi sebenarnya hatinya lembut. Mungkin saja mereka memasang wajah garang karena ingin dipandang “gaul ‘n cool”. Walaupun begitu, mereka tidak malu bila diajak memasak bersama. Aneh???? Tapi menakjubkan. Sering kali aku dibuat tertawa oleh mereka dan sesering itu pula mereka membuat aku jengkel dan ingin menghacurkan dunia. Satu sifat yang tak seharusnya bisa aku toleransi—mempermainkan wanita. Bila aku tak melihatnya, mungkin aku tak akan berbicara. Keparatnya, mereka melakukan aksi itu di kamar kos. Sehingga kedua bola mata ku secara jelas bisa melihatnya. Entah apakah mereka menganggap kamarnya tempat mesum atau entalah apa namanya. Yang jelas, Seharusnya mereka tak melakukan itu. Tapi aku kalah, aku tak mampu mencegahnya. Aku bukanlah teman yang baik yang membiarkan temannya menabung bara api neraka. Ya Allah, ampunilah hamba mu ini! Aku tak mampu mengingatknya dengan tindakan dan ucapan, hanya hati ku yang bersuara, “teman, kalian salah!”—bukankah ini juga tuntunan syari’ah agama?

Ya! Mungkin Angga sekarang jarang bahkan enggan melakukannya. Sosok Angga sekarang juga berbeda dengan Angga kali pertama aku kenal. Dulu aku tidak pernah melihat dia menengadahkan tangan untuk berdo’a. Dulu aku juga tidak pernah melihat dia tersungkur sujud untuk sholat. Tapi sekarang, dia melakukannya. Bahkan aku sering mendengar dia berkata, “oya, lupa belum sholat. Sholat dulu ya, bro?! hati kecil ku tersenyum bangga mendengarkannya. Pertanyaan besar di hati ku yang sampai sekarang ini belum terjawab adalah apa dan siapa yang membuat dia berubah? Adakah turut campur tangan Tuhan? Allah Maha tahu segalanya.

Tapi perubahan baik Angga tidak sejalan dengan Bowo. Kali pertama aku mengenal Bowo adalah sosok santun, akrab, sabar, dan apa adanya. Tapi sekarang, image itu terkubur dalam-dalam seiring kelakuan bejatnya yang tak bisa dia tekan. Layaknya acara mingguan, dia selalu mengajak teman kencannya memadu kasih di keheningan suasana kos. Kamar kos yang seharusnya dia buat sebagai tempat beribadah dan belajar. Dia nodai dengan tetesan air mani yang mungkin tersirat saat ejakulasi. Sungguh menjijikkan! Aku tahu dan yakin bahwa itu sebenarnya bukan prilaku Bowo. Tapi, itu adalah tindakan syetan yang menjelma di jasad Bowo yang bodoh dan tak mau menangkisnya. Sampai sekarang aku juga masih bertanya, “kenapa dia bisa berubah menjadi seperti itu?”

Bagaimanapun kondisi mereka, mereka adalah teman baikku. Aku saja yang bodoh dan tak berdaya membimbing dan mengarahkan mereka. Jika aku merasa “bisa” kala itu, kenapa aku tidak melakukannya? Kenapa aku hanya berpangku tangan melihat temanku yang kelak akan hangus dilalap kobaran api neraka? Kenapa kadang aku pura-pura tidak tahu menahu tentang kebodohan itu? Maafkan aku teman, aku tak mampu bertutur bahkan bertindak untuk itu. Aku hanya mampu berkata dalam hati, “teman, kalian salah!”

Mereka juga tidak jelek-jelek amat dimata Tuhan, karena pada dasarnya semua manusia itu sama dihadapan-Nya. Yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya saja. Dan itu bisa mereka dapat. Mungkin saja mereka lupa sekarang. Aku menyadari bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa. Tapi kalau lupa dengan intensitas tinggi—bukankah itu gila?

Disisi lain, Angga dan Bowo memikili sense of humor yang tinggi. Pasti ada saja yang membuat aku tertawa cekikikan. Entah dari segi pembahasan maupun tindak-tanduknya. Mereka juga mampu beradaptasi dengan orang tua. Bagaimana bertutur dan bertindak kepada orang yang lebih tua. Aku tidak menyangka, kalau mereka bisa berbahasa jawa kromo inggil (jawa yang halus). Itu yang tidak aku bisa tebak dari penampilan mereka. Memang benar apa kata pepatah, “Do not judge the book by its cover!” Aku merasa mereka adalah bagian dari keluarga ku di kos. Entah mereka menganggap ku serupa atau tidak, aku tidak peduli.

Aku tak bisa membayangkan ketika aku, Angga dan Bowo harus dipisahkan dengan waktu. Kami harus kembali ke tanah kelahiran masing-masing karena kami telah merampungkan studi kami di universitas. Aku tak kuasa membendung aliran air mata. Berat untuk berpisah dengan mereka. Apalagi sedikit mengenang hari-hari kebersamaan kami saat menanak nasi, menggoreng tempe dan ikan asin, membuat sayur, makan bersama, ejekan, tawa dan tangis mereka membuat aku enggan untuk kembali ke desa.

Angga, Bowo, selamat dan sukses atas keberhasilan kalian melewati ujian selama kita menempuh kuliah di sini. Kini saatnya kita berpisah, saatnya kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Jangan lupakan aku. Pahit manisnya masa-masa kita bersama akan selalu ku kenang.” Ujar ku pelan “aku minta maaf apabila selama menjadi teman kalian di sini aku banyak salah, aku selalu merepotkan kalian dan selalu menjengkelkan kalian.

sebaliknya, Al. aku juga minta maaf apabila aku melakukan hal serupa” sahut Angga

Wo, ingat! Kamu pernah memasakkan aku. Tapi rasanya hambar……..”

huakakakakak……..” tawa kami memecah suasana

aku juga minta maaf teman-teman. Mungkin aku tidak akan setegar ini, seandainya tanpa bantuan kalian. Aku tidak akan memakai toga ini jika tanpa dukungan teman-teman. Ingin rasanya aku meneteskan air mata”

Akhirnya kami pun berpelukan—bukan karena kami homo—tetapi karena rasa persaudaran dan pelampiasan kerinduan satu sama lain ketika kami tidak lagi berjumpa kelak dan ketika kenangan yang hanya bisa membuat kita menangis dan tertawa bangga saat mengingat ini semua.

teman, bila waktu esok kita tidak akan berjumpa lagi. Sudilah kalian membacakan surat fatihah satu sama lain. Hanya itu pesan singkat yang mungkin akan membawa manfaat” pesanku dengan menatap wajah mereka.

insya Alloh” sahut Angga.

Ah, jangan berbicara seolah-olah kita tidak akan bertemu lagi. Aku yakin, kita pasti akan dipertemukan oleh Allah kelak tapi mungkin dengan suasana yang berbeda.” Ujar Bowo.

Amiin”


Air mata ku berlinang membasahi pipi. Aku melihat banyak orang yang membawa koper dan tas seakan mereka akan pergi jauh. Aku melihat banyak orang yang berpelukan melepaskan kepergian kerabatnya. Aku juga melihat banyak pesawat terbang tergeletak di sini.

Ayah, sudah sampai. Ayo turun!” sapa Ardi, anak kedua ku.

Astaghfirullah….. aku melamun”


Akhirnya aku turun dari mobil dan mengantarkan Arini menuju pintu masuk. Kami sekeluarga melepas keberangkatan dia untuk mencari ilmu di negeri kangguru itu. Semoga kelak dia menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. “Arini, selamat jalan, nak. Do’a ayah selalu bersama mu. Ingat sholat lima waktu dan kirim fatihah kepada keluarga!” pesan ku, “Ingat, nak! Hindari perbuatan yang dilarang agama.”




Surabaya, 21 Pebruari 2009

16:13 WIB

Tidak ada komentar: