Ibu, maafkan aku!
Tergeletak pensil beri bersanding radio yang menyuarakan isi hatinya. Ku ambidan mencoba menyoretkannya diselembar kertas putih dengan penuh hati. Sekilats tampak nyata terlukis wajah ibu di ujung pensil itu. Aku berenti dank u sandarkan pensil itu di keningku seraya mengenal jasa ibu. Gelar master of education yang ke sandang ini tak luput dari kerja kerasnya. Ibu yang berprofesi sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta itu harus bekerja mati-matian untuk menghidupi aku dan kedua adikku—bukan untuk bapak yang telah bbersanding dengan-Nya tiga belas bulan yang lalu. Semanjak kepergian bapak, ibu harus membanting tulang untuk membiayai aku yang kala itu masih duduk di Sekolah Menengah Atas dan kedua adikku yang sedang mengecap bangku dasar. Tk banyak yang dapat ibu lakukan kecuali dengan keahliannya di bidang pendidikan itu. Beliau sangat bangga dengan profesinya walau dengan dengan gahi yang terhitung murah dibanding dengan jam kerjanya. Sebab itulah beliau memaksa aku untuk meneruskan pendidikanku ke perguruan tinggi setelah aku tamat SMA agar aku dapat meneruskan impiannya yang mulia. Sedikit aku menyangkal tidak setuju mengingat kondisi ekonomi keluarga kita yang pas-pasan. Namun, aku tak bisa mengelak dari keputusan inu. Beliau sangat menginginkan aku menjadi seorang guru. Akhirnya setelah kelulusan aku harus menuruti kemauan ibu. Aku mnedaftar sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di kotaku melalui jalur nasional yang diselenggarakan pemerintah dan akhirnya aku diterima. Ibu sangat bangga dengan hal ini—tidak bagi ku. Aku berpikir bahwa ibu akan semakin sengsara karena harus membiayai aku, toh untuk keperluan sehari-sehari saja, ibu harus memperhitungkannya masak-masak agar kita masih bisa menelan sesuap nasi. Aku pecahkan kendi yang menyimpan uang ku semenjak aku duduk di SMP. Tapi uang ini tak cukuo untuk menutupi kekurangan uang ibu. Akhirnya ibu memeutuskan untuk meminjam uang kepada pak Dharmo yang cukup beresiko kalau sampai tak bisa mengembalikannya.
“bu, mengepa ibu harus hutang hanya untuk membiayai kualiah ku? Toh, untuk jaminan mengembalikan uang tersebut tidak ada.” Tanya ku.
“biar ibu yang memikirkannya. Tugas mu hanya belajar dan meneruskan cita-cita ibu sebagai abdi Negara.” Jawab beliau dengan ramah.
Pagi itu aku harus berangkat ke kota dan menetap di sana untuk sementara. Berat rasa hati meninggalkannya. Namun, apa daya. Ini nasib yang harus aku terima. Semenjak kepergianku, ibu harus bekerja mati-matian untuk membiayai sekolah ku. Sebagian uang yang beliau pinjam dari pak Dharmo dijadikannya modal untuk membuka warung nasi di depan rumah. Pagi hingga larut malam ibu harus meremukkan tulangnya hanya demi menyambung hidup kita. Lebih-lebih untuk keperluan kuliahku yang cukup menyedot uang.
Menjelang minggu akhir semester, sepucuk surat dating mengabarkan kalau ibu sakit-sakitan. Aku harus pulang meskipun besok adalah hari pertama aku mnegikuti tes akhir perkuliahan. Sangat beresiko teapi lebih dan sangat beresiko bagi aku kalau meninggalkan ibu sendiri dalam keadaan sakit. Sehingga ku memutuskan untuk pulang. Setiba dipojk kampong banyak orang yang mengerubuti depan rumah ku. Hati ku bertanya-tanya. Ada apa dengan ibu? Semeter bagai satu langkah, aku berjalan bergegas menghampiri orang-orang itu.
“ada apa dengan ibu, kang? Tanyaku pada tetanggaku
“dia……..dia…….”jawabnya terpotong-potong
“bi, bibi, kenapa ibu?
“sabar ya, nak”
Jawaban yang memastikan itu mnejadikan hatiku menggerutu penuh angkuh. Akhirnya aku bertanya pada pak Dharmo yang kal itu berdiri tegar di tengah pintu rumah ku.
“pak, sebenarnya ada dengan ibu?” Tanya ku penuh nafsu
“maafkan aku sebelumnya. Bukan maksud hati melukai ibumu, tapi aku harus…….”
“harus apa pak?” Bentakku merdu
“harus menagih hutang lebih awal dari yang aku janjikan. Dan itu membuat ibumu yang sakit shoch dan akhirnya harus dilarikan dirumah sakit.”
“ke rumah sakit??? Ibu dirumah sakit!!!”
Ku banting tas yang pebuh dengan buku itu diatas kaca meja yang akhirnya pecah membuat gaduh suasana. Kemudian aku bergegas menyusul ibu ke rumah sakit terdekat di kota ku tanpa harus bertanya-tanya.
Sesampainya disana. Kedua adikku membanjiri lorong rumah sakit dengan tangisnya yang tragis. Hatiku semakin tak enak dengan hal itu. Langsung aku hampiri mereka dan menanyakan keadaan ibu.
‘dik, bagaimana keadaan ibu?”
“mas……….., ibu!!”tangisnya menjadi-jadi
“ada apa dengan ibu, dik?”
“ibu telah meninggalkan kta, mas. Aku tak punya orang tua lagi………”
Tangisan adikku membuat aku tak mampu menopang badan ku. Aku lemas dan duduk tersungkur menyesali dan meratapi nasib. Aku tak lagi bisa membahagiakan ibu dan bapak. Mereka telah meninggalkan aku. Betapa kejamnya takdir merempas kebahagiannku. Ya Allah………..
“ibu……….tak sempat aku membalas jasamu kau telah meninggalkan aku bersama kedua anakmu……..” sesalku dalam hati yang berbuah luka dan duka
Adik-adikku memelukku erat sembari menangis di kedua pundakku. Kami menangis. Hidup tanpa kedua orang tua. Aku sadar, tangisan ini tak akan mampu menghidupkan ibu kembali. Aku bangkit dari keterpurukan ini dan menuntun adik-adik menuju ke ruang jenazah akhirnya aku melihat ibu terbujur kaku disana. Aku menangis seraya mencium tangannya. Meskipun demikian, ibu tak akan kembali. Agar arwah ibu tenang bersama bapak di sisi-Nya, aku pimpin adik-adik membaca do’a bersama.
Tiba-tiba saja, ada suara gadis kecil yang memanggilku.
“papa, papa!!! Dipanggil mama, katanya makanan sudah siap”
Pensil ku pun terjatuh dari sandaran keningku. Akupun terlepas dari kenangan bersama ibu di masa lalu. Ibu, maafkan aku……….!
Dikeheningan ku, aku mengingatmu
betapa aku mencintaimu
FRESH 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar