Me at A glaNce
- ALI ROSYIDI
- GRESIK BERHIAS IMAN merupakan slogan kota kelahiranku. sekarang aku menempuh pendidikan S1 di Surabaya State University, The faculty of Language and Art, English Department. pendidikan ini aku peroleh karena aku berkesempatan mendapat beasiswa mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Mindset "The Beauty of Writing" tertanam sejak aku berada di bangku MTs setelah mengirim karya tulis ke Deteksi Jawa Pos. hobi menulis ku ini tertampung di media sekolah sampai akhirnya aku menjabat sebagai pemimpin redaksi mading SMA dan Reporter Majalah PROSPEK. it's amazing experience actually! sebelum aku menetap di kota Pahlawan untuk merampungkan studi ku, aku menulis sebuah buku panduan kepramukaan untuk adik didik ku di alamamaterku dan sekarang mencoba mengukir kembali buku baru yang berjudul " Scouting Guide " yang aku dedikasikan untuk mereka pula. aku temukan the great spirit of writing here. "Dahaga Akan Cinta dan Rindu Rosulillah" merupakan puisi ku yang menduduki posisi ketiga dalam lomba menulis puisi cinta untuk Rosulullah di Universitas Negeri Surabaya. (email: ali_rosyidi51@yahoo.com)
Selasa, 27 Desember 2011
The Victory Flag
Kamis, 08 Desember 2011
JELAJAHI ALAM MELALUI PRAMUKA
Langkah penuh semangat dan sorak sorai gembira menggema diantara beberapa anggota pramuka pangkalan MI Hidayatul Ulum Kisik Bungah saat melaksanakan jelajah medan pada tanggal 25 Nopember 2011 lalu. Rute jelajah medan yang panjang seakan tak melumpuhkan langkah mereka untuk mencapai finish. Dengan tangkas pula, setiap regu pramuka menyelesaikan beberapa tugas yang dibebankan kepada mereka di setiap pos. Pada jelajah medan kali ini, anggota pramuka harus melewati 5 pos. Tentu, ada berbagai macam tantangan yang menanti mereka di setiap posnya. Bagaima aksi seru anggota pramuka saat jelajah medan? Let’s check them out! J
Perjalanan yang menyita waktu kurang lebih lima jam ini dimulai dengan ‘yelling’ di pos pertama. Regu yang bisa menampilan ‘yell-yell’ paling baik dan unik dengan lirik dan lagu yang dibawakan, maka mereka berhak untuk mengambil start lebih awal. Berbagai macam ‘yelling’ yang ditampilan regu dengan mengusung berbagai macam back-song, seperti theme song Gresik United (GU), Alamat Palsu Ayu Ting Ting, Garuda, Indonesia Bisa, dll—dimana lirik lagu dirubah sesuai dengan motif regu—mampu membuat setiap anggota pramuka tersenyum lebar dan mengobarkan aura semangat di pos pertama ini. Sungguh pemikiran kreatif yang patut diapresiasi!
Jarak pos pertama dan pos kedua hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Regu pertama yang datang langsung laporan kepada Pembina yang bertugas di pos dua. Setelah laporan selesai, Pembina menghidangkan tugas berupa sandi. Di pos dua ini, setiap anggota regu harus memecahkan sebuah sandi seismograf (rumput-jurang). Sandi tersebut merupakan Kalimat Tanya yang harus dijawab agar bisa melanjutkan ke pos tiga. Regu yang berhasil memecahkan sandi tersebut akan diberi sebuah password untuk mengerjakan tugas di pos tiga. Password tersebut tidak boleh ditulis, hanya bisa dihafalkan.
Sesampai di pos tiga, regu yang datang terlebih dahulu akan diberi sebuah pertanyaan dimana jawabannya adalah password yang diberikan di pos sebelumnya. Password tersebut merupakan rangkaian kata-kata panjang yang ‘njelimet’ yang mungkin susah untuk dihafalkan kalau tidak menggunakan trik khusus. Apabila regu tersebut tidak bisa mengulang password tersebut maka Pembina juga tidak bisa memberikan tugas di pos tiga ini. Dengan kegigihan yang tinggi, setiap regu harus berusaha untuk menghafal password tersebut.
Setelah password bisa disebutkan dengan tepat, Pembina memberikan tugas berupa semaphore pada pos empat ini. Regu yang datang lebih awal dan bisa menyebutkan password dengan tepat bisa menghela napas lebih panjang di pos ini karena mereka harus menunggu regu lain untuk menyempurnakan tugas mereka. Di pos empat ini, semaphore akan dipertunjukkan secara klasikal. seperti pada pos tiga, ada beberapa pertanyaan yang di kemas dalam semaphore dan harus dijawab oleh setiap regu. Jawaban tersebut harus dikumpulkan secara bersamaan.
Sebelum merampungkan penjelajahan ini, setiap regu harus menampilkan kembali ‘yelling’ mereka. Lagi dan lagi, regu yang bisa memberikan penampilan terbaik maka berhak mendapatkan start lebih awal untuk menuju ke pos terkahir, yakni pos lima. Semua regu berusaha untuk ‘perform’ seoptimal mungkin. Tentu, diantara beberapa tampilan yang baik harus ada yang terbaik. Do the best! Do not think to be the best!
Pada pos lima ini, setiap regu dibebani tugas untuk membuat tandu. Setiap anggota dengan cekatan menyiapkan dua tongkat dan dua tali untuk merakit sebuah tandu. “Ayo!!! Siapkan talinya!” teriak pimpinan regu, “kamu buat simpul pangkal, kamu buat simpul mati dan kamu buat simpul jangkar” ujar pinru sambil menunjuk beberapa anggotanya. Panic, tertekan, dan bingung menjadi penyedap rasa saat mengerjakan tugas terkahir ini. Pasalnya, hanya 15 menit waktu yang disedikan dalam pembuatan tandu ini. Ketangkasan dan kegigihan sangat dibutuhkan agar menghasilkan karya terbaik. Penilaian pembuatan tandu ini didasarkan pada kekuatan ikatan, kebenaran simpul dan kreativitas untaian. Setelah tugas ini selesai, semua anggota pramuka kembali pada pos pertama.
Sesampai di pos pertama, semua anggota pramuka bisa tersenyum lepas dan bebas. Meraka mengulas kembali perjalanan; mulai dari melewati persawahan, perkampungan dan perkebunan. Berbagai macam fenomena alam bisa mereka nikmati bersama. Ukiran dan lukisan agung Sang Pencipta bisa dilihat dan disentuh bersama. Penuh dengan ketakjuban! Kami senang menjadi anggota pramuka J
Dunia ini adalah kanvas dimana kita lukis pengamalan kita diatasnya. Baik dan buruk lukisan tersebut, itu adalah hasil karya kita. . .
Senin, 05 Desember 2011
The Cloudy Cheer
Learning is a process. It needs much time and energy to reach what we wish. A great struggle should be our companion and a pray leads to the soul. Do remember that God will take everything into account. So, Do the best!
Rabu, 10 Agustus 2011
Cinta yang Sempurna
Thursday at 11:11 am via BlackBerry Torch—penggalan status FB Hilma, kekasihku.
Siang itu seolah-olah matahari dengan murkanya memancarkan sinas panasnya ke bumi. Manusia diuji oleh tuhannya untuk menahan dahaga yang luar biasa bagi mereka yang berpuasa. Bulan ramadhan tahun ini memang begitu indah dengan segala hiruk-piruk takdir tuhan. Termasuk takdirku yang dipertemukan dengan Hilma di awal bulan mulia dan menjalani rukun islam yang keempat tahun ini bersama dia dengan ruang yang berbeda. Namun perbedaan ruang ini tak melemahkan cinta kita. Bahkan hal ini sangat memperkuat rasa ingin memiliki diantara kita melalui kerinduan tiada tara. Hilma, I Miss you.
Aku begitu mencintai Hilma dan ingin menghalalkan dia bagiku kelak. Rasa cintaku padanya begitu membumbung tinggi. Hingga setiap saat aku ingin tahu dimana dan sedang apa dia. Mungkin hal ini begitu belebihan bagi sebagian mata memandang. Tapi, itulah fakta. Aku begitu menyayanginya. Entah apa dia juga merasakan apa yang kurasa? Hanya dia dan tuhannya yang lebih mengetahui isi hati.
Siang itu jemari ini menari diatas keyboard, mencari tahu apa yang dirasakan Hilma melalui status jejaring sosialya, Facebook (FB). Seperti biasa, banyak lelaki mengucapkan terima kasih karena sudah di-confirm menjadi teman FB-nya, tak sedikit juga yang menulis rangkaian kata memuji kecantikannya, dan hampir tak ada teman yang tidak merespon status barunya. Itulah pemandangan yang sering aku jumpai di dinding FB Hilma. “ternyata banyak juga yang menggilai pacarku” hati kecil ini berbisik seraya senyum simpul.
Namun aku mencintai Hilma bukan karena banyak lelaki yang memperebutkannya, bukan juga karena hartanya, dan apalagi semata-mata karena kecantikan fisiknya. BUKAN! Aku mencintai dan menyayanginya karena dia memberikan keteduhan hati kala aku memandang wajahnya, dia memberikan sinar cerah kala aku redup dengan beban hidup, dan dia bisa menerima aku apa adanya sebagai pribadi yang sederhana. Meskipun masa tak mengizinkan kita berlama-lama berdua untuk saling menyapa dalam satu ruang, namun itulah fakta yang aku rasa. Ketenangan dan kebahagiaan hati bagiku itu jauh lebih berharga dari pada harta benda dan eloknya raga. Sejatinya harta dan raga hanya sesuatu yang fana. Dan, tak bisa bertahan ada sekekal sebuah rasa; rasa tenang dan bahagia yang tak bisa diperjual-belikan bahkan dikalahkan hanya dengan harta dan raga. Bila aku boleh menyimpulkan, harta dan raga adalah musuh nyata manusia untuk melemahkan dan merusak sebuah keyakinan; iman dan taqwa. Ah, aku terlalu gelap menulis sesuatu yang agamis.
Semakin jauh aku menjelajah FB Hilma, kudapati update statusnya: “…..Aku memang manusia yang tak sempurna tapi ingin dicinta. Cintailah orang yang tak sempurna dengan cara yang sempurna.” Hatiku seakan berguntur dan mataku gerimis saat membaca status Hilma. Berkiblat pada pola hidup kita berdua, jelas sudah berbeda. Aku menghela nafas di lingkungan keluarga yang sederhana sementara Hilma menghirup udara di lingkungan keluarga yang mewah. Bisakah aku memperlakukan Hilma dengan cara yang sempurna seperti yang dia harapkan?
Panas udara siang itu tak terasa sudah. Indra ini memaksa untuk bernalar dan mengalisa arti sebuah cinta, benar-benar mengabaikan suasana yang ada. Aku duduk diantara beberapa kursi yang tak berpenghuni di kantor tampatku bekerja. Mata ini tertuju pada rangkaian kalimat Hilma yang berbaris rapi. Seandainya Hilma berada disampingku. Ingin rasanya aku bertutur, “Dek, hubungan kita ini tak menuhankan harta, tak memalaikatkan raga dan tak menabikan hasrat dunia namun hubungan ini beriman pada arti cinta sesungguhnya; mendapatkan ketentraman sesuai dengan tuntunan agama.
Dan bila Adek mempertanyakan bagaimana Mas bisa mencintai Adek dengan cara yang sempurna. Maka biarkan Mas meng-khitbah Adek dan kasih sayang penuh dengan pahala akan kita dapatkan. Mas sangat ingat betul tuntunan itu ketika Mas membacakan surat Ar Ruum ayat 21 sebagai salah satu dasar perintah nikah di resepsi penikahan sepupu Mas. ‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir’ Itulah cara yang paling sempurna untuk merajut jalinan asmara. Namun, hal itu tak akan bisa menjadi realita dalam hitungan hari dan bahkan bila Tuhan mengizinkan kurang dari dua ribu seratus sembilan puluh hari impian mulia itu bisa terlaksana. Itupun bila Adek benar-benar serius dengan komitmen kita. Mas siap menunggu Adek karena Mas berharap Adek adalah wanita terakhir yang Mas cintai, yang akan menjadi ibu dari anak-anak Mas. Bukan saatnya lagi Mas untuk bermain-main dengan arti cinta. Mas juga tidak mau kemudian terburu-buru untuk menikah. Banyak impian Mas yang belum tercapai. Kita jalani cinta ini apa adanya namun aku berharap hubungan ini akan bermuara pada Sunnah Nabi.
Namun keyakinan dan kepercayaan harus saling kita kuatkan bila kita benar-benar ingin mencapai tujuan itu, Dek. Pasti akan ada bebatuan kecil, sedang dan bahkan besar yang akan menghalangi perjalanan jauh nan panjang itu. Setidaknya kita harus saling bergandengan erat untuk mengatasi hal itu bersama. Mas yakin, kekuatan cinta kita akan mampu melewati jalan terjal itu. Bismillah!
Mas minta maaf bila Mas terlalu ambisius untuk memilikimu dan kadang Mas interfensi kehidupan kamu di keluarga. Mas hanya ingin kamu tahu bahwa Mas serius dengan apa yang Mas katakan. Tak ada gading yang tak retak. Mas hanya manusia biasa yang penuh dengan salah dan lupa. Namun, Mas tak salah untuk mencintaimu dan tak akan pernah lupa dengan ikrar yang tak telah kita ukir dalam kalbu”
“Pak!”
“Pak….Pak!!!” suara ini semakin keras tertuju padaku.
“O, iya. Ada apa pak?” Sahutku lekas tersadar dari utopia.
“sudah jam tiga. Ndak pulang?” Tanya kolegaku di kantor
“iya, pak” jawabku seraya menekan icon turn-off laptopku dan mengemasinya.
Tak aku sadari rasa takut untuk kehilangan cinta dan sayang Hilma mampu membuatku jauh menyelami alam bawah sadarku. Bagiku cinta tak mengenal kasta. Cinta adalah sebuah anugrah terindah yang diberikan tuhan kepada manusia. Cinta bisa hadir dan menyibak pahitnya kehidupan menjadi sesuatu yang luar biasa manisnya. Tuhan Maha Mengetahui apa yang kita tidak tahu. Biarkan aku mencintainya dengan caraku sendiri.
5 Agustus 2011
16.00
Senin, 24 Januari 2011
She wanna say . . .
( by Raudatul Ula )
In Texas, lived an office worker man named Stephen. Stephen was only 28-year-old accountant in a textile company with not more than US $300 monthly income. He went to his office by an old scooter passing a narrow street in order to avoid the traffic jam in the work time. Stephen was known as the most diligent worker in the office. He never came late.
One day, when he was going to his office, in the narrow street, he got a trouble in his scooter. It couldn’t work even he tried to switched it on for several times. Fortunately, there came a beautiful woman riding her scooter. She offered Stephen a help. She let him to his office by her scooter. By the time, Stephen fell in love to the woman. He loved the woman very much even he didn’t know the woman’s name. He couldn’t sleep properly because he couldn’t stop thinking of the woman. He was eager to know the woman’s name, address, and soon to propose her to be his wife.
The following day Stephen wrote a letter. The letter told about Stephen’s feeling. He put the letter in a pink box and put it in the edge of the narrow street. He was sure that the woman would notice that the letter was from Stephen. He wrote big letter outside the box by “To the Scooter Girl from the Scooter Boy”. When Stephen was back from his office, he wondered to see a pink box written “To the Scooter Boy from the Scooter Girl”. He was so happy because the woman replied his letter. From the letter he knew that the woman’s name was Emily. Emily stated that she also loved him. That was days of happiness for Stephen because he found his soul mate. They were continuing sending letters by the same way. After two months passed, Stephen asked the woman to have a meeting on next Saturday night in the narrow street. Then they met each other to share their love. They passed the night romantically. Stephen said that he would come to meet Emily’s parents to propose her to be his wife on next February 14th 1992. It was just a month to go.
The day was come. Stephen visited Emily’s home. It was a big cozy house with a wide park and two cars in its garage. Stephen realized that Emily was a true low profile woman he had ever seen. He thought that he was in the right way loving such perfect nature woman like Emily. Emily’s parents welcome him well. They were so kind. But Stephen wondered why Emily didn’t come to see him. Then, Emily’s father started the conversation. He said that he had already known about Stephen’s intention to come to their home. He thanked to Stephen for loving his daughter. But he said that Emily had gone to French for a better job. Stephen was extremely disappointed about the Emily’s father saying. He blamed himself that he loved a wrong woman. Emily was from a rich family. She was impossible to love a poor worker as him.
The days after, Stephen swore to himself that he won’t love any woman anymore. He must work so hard and then showed to Emily’s parents that he was able to be a rich man. Stephen was taking an extra work. All the day, all the night, he kept working. Finally, not more than ten years, he was promoted as a branch director of his company. He earned more than US $3000 a month. He was able to change his scooter to become a luxurious Mercedes Benz S800 car.
In one little rainy Saturday afternoon on February, 14th 2000, while he was driving his luxurious Mercedes Benz, Stephen saw an old couple holding a pink box. They were crossing the road and entered to a cemetery park in the edge of the road. He noticed that they were Emily’s parents. He drove his car slowly to meet them. As the same way, Emily’s parents were still kind people. They gave the pink box to Stephen and let him to a grave. There were nine pink boxes on the grave. He wondered that the gravestone was written by the name of “Emily Bloomwood”. Emily’s father told Stephen that Emily loved him so much. She didn’t want to hurt him by knowing that she was injured by chronic deathly blood cancer. She asked her parents to come to her grave on February 14th to put one pink box containing letter which was sent by Stephen to her every year until one day Stephen came to take it all and noticed that she loved him so much. That day was the tenth box. Stephen realized that the day he proposed Emily, Emily had been already died. Stephen genuflected near Emily’s grave and hugged it by crying. He was sorry about the misunderstanding and then he realized that Emily was truly a right woman he had ever seen.
Kamis, 20 Januari 2011
DIARY RAMADLAN (Bag. II)
“…….Ya Allah, sesungguhnya aku minta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu, dan aku mohon kekuasaan-Mu untuk mengatasi persoalanku dengan ke-Maha Kuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa ukhti Ifadh Ihya’un Niswah lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku—dunia dan akhirat. Takdirkanlah dia untukku, mudahkan-lah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa dia lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkanlah dia dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku……“ Doa faiz malam itu.
Aku tahu, Faiz masih menyimpan perasaan kepada Niswah. Dia tak akan semudah itu melupakan Niswah. Lidah bisa bekata lain namun hati tak bisa dipungkiri; Faiz masih mengharapkan Niswah untuk kembali. Semoga malam ini merupakan malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan, dimana turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Allah untuk mengatur segala urusan, sehingga akan ada kebaikan dan kemuliaan di hari-hari berikutnya bagi Faiz. Kemudian kaki ini melangkah menuju tempat persucian dan lekas bersujud kepada Sang Khaliq.
*****
Hujan tadi malam menyisakan hawa dingin. Pagi itu embun masih menyetubuhi dedaunan ketika Jangkrik bersenandung merdu. Meskipun demikian, tak jarang warga desa berduyung-duyung menuju masjid untuk beri’tikaf sembari menunggu jamaah sholat shubuh. Pemandangan yang tak biasa aku lihat di hari-hari biasa. Seusai keluarga Faiz selesai sahur, kami pun berangkat bersama-sama ke masjid. “hayya binaa nakhruju ila masjid yaa Faiq[i]” ajak Faiz.
Tiba-tiba saja ponsel Faiz berdering keras hingga terdengar sampai di teras rumah. Dia ingin mengabaikan panggilan itu tetapi berkali-kali ponsel itu berdering.
“coba lihat siapa yang telpon! Mungkin saja penting sampai telpon jam segini. Biar aba, umi dan Hafsah berangkat dulu” tuturku memberi saran.
“kalau begitu, kami berangkat dulu. Lihat dulu siapa yang telpon. Benar kata Faiq, mungkin ada yang peting hingga telpon pagi-pagi ini” ujar Aba kepada Faiz.
Kemudian Faiz bergegas masuk rumah dan mengambil ponselnya di kamar yang tak jauh dari pintu utama.
“Niswah?” ujar Faiz ketika melihat layar ponselnya, “ada apa dia telpon aku sepagi ini?” tanya dalam hatinya.
“assalamu’alaikum” salam Faiz saat menerima panggilan itu
“wa’alaikumsalam, kaifa akhbaaruka hadza shobakha?[ii]” jawab Niswah
“bi khoiri, wa sykuron. Wa kaifa anti?[iii]”
“wa anaa bikhoiri aidhon, wa syukron. Anaa muta assifun alaa iz’ajii iyyaka[iv]” tutur Niswah
“maa fii dzaalik bi syain[v]. Hanya saja saya ini tadi mau berangkat ke masjid bersama keluarga dan teman”
“idzan, sa atashilu bika tilfuuniyyan marratan ukhro[vi]”
“laa, Niswah! Saya harap semuanya bisa cepat selesai. Aku harap kamu bisa memahami perasaanku. Dan, aku menginginkan penjelasanmu kenapa kamu melakukan itu semua kepadaku”
“afwan, aku memang salah. Aku menyesal. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menyakinkan diriku kalau kamu benar-benar cinta aku sehingga aku memakai nomer ponsel lain dan berpura-pura menjadi orang lain. Aku ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaanmu kepadaku ketika aku menjelek-jelekkan diriku. Mungkin caraku salah di matamu, tapi aku melakukan itu semata hanya untuk memastikan bahwa kamu bisa menerima aku apa adanya. Aku benar-benar mencintaimu, Faiz. Maafkan aku?” penjelasan Niswah kepada Faiz.
“kamu tak sepantasnya melakukan itu, Niswah. Ini yang kemudian membuatku ragu. Kamu tidak sepenuhnya mempercayaiku. Kamu meragukan cintaku. Kalau memang kamu ragu, sebaiknya hubungan ini sampai disini saja. Aku tidak mau menghabiskan waktu kita hanya dalam keraguan dan berujung pada perpisahan”
“aku harap kita bisa memulai hubungan ini dari awal. Dan, tidak akan ada lagi kebohongan diantara kita”
“tidak, Niswah. Aku tidak bisa memulai semua dari awal. Afwan?” tegas Faiz
“tut….tut…tut….” suara yang terdengar dari ponsel Faiz, “halo…Niswah…halo…” ujar Faiz.
Akhirnya Faiz keluar rumah dan bercerita bahwa panggilan tadi adalah Niswah. Namun sebelum semuanya terselesaikan, tiba-tiba permbicarannya putus. Faiz juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Mungkin Niswah sengaja mematikan ponselnya ketika mengetahui bahwa Faiz tidak bisa memulai semuanya dari awal atau karena alasan lain seperti baterainya lemah, sinyalnya putus atau beberapa kemungkinan lain.
“kenapa kamu tidak bisa menjalin hubungan itu lagi, Faiz? Niswah kan sudah mengakui semua kesalahannya dan kesalahan itu tidak fatal menurutku. Dia melakukan itu semata hanya untuk kebaikan kalian. Dia hanya ingin tahu bahwa kamu benar-benar mencintainya apapun keadaannya” tuturku.
“siapa yang bilang kalau aku tidak bisa menjalin hubungan itu lagi?” tanya Faiz kembali
“saat Niswah menanyakan kesangguapanmu untuk memulai hubungan kalian dari awal, nyatanya kamu tidak bisa. Apakah itu tidak berarti bahwa kamu menolaknya?! Tentu, dia menganggap bahwa kamu tidak mencintainya lagi. Padahal, aku tahu bahwa kamu sangat mencintainya ‘kan?”
“bukan itu yang aku maksud, aku tak sanggup memulai hubungan kami dari awal, Faiq. Tapi, aku minta semua yang sudah terjadi itu menjadi pengalaman kami untuk melangkah ke depan dalam menjalin hubungan kami. Sejatinya pengalaman adalah guru yang terbaik. Sebab itulah, aku tidak bisa kalau harus memulai hubungan kami dari awal, dari nol” tutur Faiz
“semoga saja Niswah bisa memahami itu! Kamu harus bisa menjelaskannya”
“kita berangkat ke masjid dulu. Nanti aku akan menghubunginya lagi. Saya sudah lega, setidaknya aku tahu bahwa Niswah benar-benar mencintaiku. Ukhibbuki aidlon[vii] ukhti Ifadh Ihya’un Niswah” ujar Faiz sambil tertawa.
*****
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam warahmatullah. Beberapa minggu ini kog nggak kelihatan main ke rumah. Nak Faiz sibuk?”
“iya, pak dhe. Ada tugas dari pesantren. Niswahnya ada, pak dhe?”
“iya, ada. Masih berkemas. Nak Faiz toh yang mau ngantar Niswah ke terminal?”
“ke terminal pak dhe? Emang Niswah mau pergi kemana?”
“di pesantren kan sudah musim liburan, nak Faiz. Jadi, dia mau mudik. Saya pikir nak Faiz sudah tahu dan mau mengantarkan dia ke terminal”
“O, gitu pak dhe. Saya belum tahu pak dhe. Saya bisa bicara dengan Niswah, pak dhe?
“silahkan duduk. Biar pak dhe panggilkan”
Faiz begitu cemas. Dia tak mengerti kalau Niswah akan kembali ke kota. Dia sempat berpikir apa dia penyebabnya. Apa karena Niswah salah paham dengan perkatan Faiz tadi pagi pasalnya tiba-tiba telpon mereka terputus? Tiba-tiba Niswah keluar. Seperti biasa, Niswah begitu anggun dengan busana muslimnya. Dia agak takut bila harus berbicara dengan menatap penuh mataku sehingga sesekali dia menundukkan muka atau memandang sesuatu yang tidak jelas.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam. Niswah, kenapa kamu pergi? Apa kamu pergi karena aku yang tak mau memulai dari awal hubungan kita? Kamu salah paham, Niswah. Aku sangat mencintaimu. Aku mohon kamu jangan pergi. Aku tak bisa kalau harus berpisah jauh denganmu”
“Faiz, syukron katsiron[viii] sudah memaafkan ku. Aku pulang bukan karena mu”
“terus karena apa?”
“kamu tahu kan seluruh keluargaku di kota. Dan disini, aku hanya tinggal dengan pak dhe Jamil. Sebentar lagi juga mau lebaran”
“tapi kamu akan segera kembali untukku ‘kan?” tanya Faiz, “iya kan?”
Senyum manis Niswah telah menjawab semua dan mengukuhkan hubungan mereka kembali. Hanya ada tawa di teras rumah pak dhe Jamil pagi itu. Rupanya kupu-kupu yang berterbangan di deretan pot bunga depan rumah pak dhe Jamil ikut serta merayakan kebahagiaan Faiz dan Niswah. Terbang kesana kemari seakan ingin menyampaikan pesan, “jagalah hubungan kalian dengan berkiblat pada syariat agama. Jangan mengedepakan nafsu sesaat bila kalian ingin selamat; fii dunyaa wal akhiroh[ix]”
5 September 2010 (12.21)
[i] Mari kita berangkat ke masjid Faiq
[ii] Bagaimana kabarmu pagi ini?
[iii] Baik, terima kasih. Dan bagaimana kabarmu?
[iv] Saya juga baik, terima kasih. Saya minta maaf sudah mengganggu kamu
[v] Tidak apa-apa
[vi] Kalau begitu saya akan menelponmu lain kali.
[vii] Saya juga mencintaimu
[viii] Terima kasih banyak
[ix] Di dunia dan akhirat
DIARY RAMADLAN (Bag. I)
Tergeletak buku tebal bertuliskan Diary diatas meja belajar Faiz sore itu. Mungkin dia lupa untuk menyimpannya kembali setelah terbiasa menorehkan kisah hidup diatas lembaran putih dengan tinta hitam. Masih terlihat jelas penanya disela-sela lembar dairy petanda batas jauh dia menulis. Aku, teman karib Faiz selama di Uzbekistan, tahu persis kebiasaan temanku ini. Dia sangat suka menulis—kisah pribadi yang tak seharusnya orang lain tahu, tak hanya kisahnya tapi juga kisah teman-temannya yang dianggap unik dan heart-touching.
Ingin rasanya tangan ini menjamah buku itu. Aku sangat penasaran dengan coretan Faiz selama kami tak lagi bersama. Tapi aku tahu, itu tidak bagus. Buku itu adalah privasi Faiz. Meskipun dia adalah teman akrabku. Aku tidak bisa seutuhnya memperkosa hak-hak pribadinya. Aku juga harus bisa memagari area persahabatan dan pribadi seseorang. Ini yang kemudian bisa melanggengkan hubungan kami sampai sekarang.
“Assalamu’alaik ya akhi. Kaifal khayatu ‘indhak?[i]” salam Faiz dengan sumringah[ii] saat membuka pintu kamar.
“Alaikassalam ya akhi. ‘ala maa yuraamu, wa syukraan. Wa kaifa akhwaaluka[iii]?”
“ ‘ala akhsani maa yuraamu, wa syukraan. akuunu farkhaanatan bimoqoobalatika marratan ukhro”[iv] ujar Faiz
“anaa kadzalik”[v]
“kapan antum[vi] tiba di Indonesia?” tanya Faiz antusias
“kemarin sore. Afwan[vii], aku langsung nyelonong ke kamarmu. Umi antum yang mempersilahkanku masuk”
“biasanya ‘kan seperti itu” sahut Faiz sambil terbahak-bahak.
Akhirnya canda tawa kami memecahkan suasana rumah Faiz yang terbiasa sunyi dan hening. Maklum, penghuni rumah ini terbiasa pergi ke pesantren saat menjelang sore. Sangat lama kami tidak lagi bercengkerama setelah aku harus kembali ke Uzbekistan dua tahun yang lalu untuk menuntaskan studiku.
“ssstttt… kapan antum kenalkan aku dengan wanita yang antum ceritakan di e-mail itu?” bisikku ke Faiz dengan canda.
“afwan, Faiq. Aku tidak mau membahas tentang dia. Tiga hari ini aku berusaha untuk mengubur ingatanku tentang dia. Dia tak sebaik yang aku kira” Tutur Faiz kepada dengan pelan.
“tapi kenapa, Faiz? Bagaimana itu bisa terjadi?”
“antum bisa membaca semuanya di dairyku. Aku telah menumpakah semua perasaanku disana. Aku malas untuk bercerita ulang tentang dia. Sangat menyakitkan!!!”
“Afwan, Faiz. Aku tidak bermaksud membuat antum sedih dan kembali terpuruk karena seorang wanita. Aku tidak mengerti akan hal ini”
“tidak apa, Faiq. Coba antum baca saja di dairy itu! Dairy itu sengaja aku buat hanya untuk menulis kisah kasihku dengan dia. Antum tak akan menemui coretan lain di dalamnya kecuali tentang dia—yang telah membuatku tak lagi mempercayainya”
Diary itu tepat berada di hadapanku. Aku coba gerakkan tangan ini membuka perlahan lembarannya. Lembar pertama tertulis besar dengan huruf balok; CORETAN KISAH KASIH ANTARA AKU DAN DIA. Kemudian aku lanjutkan pada lembar kedua. Tertulis jelas; Akhirnya aku melabuhkan sebagian jiwa ini untuknya. Aku berharap dia adalah wanita pilihan utusan Allah untuk hambanya ini. Semoga Allah menjaga dan meridloi hubungan baik ini sampai aku benar-benar yakin dan mampu meng-khitbah dia untuk menjadi pasangan kekalku di dunia. Hanya pilihan-Nya yang aku harapkan menjadi pendamping hidup selama nyawa dan raga ini bersatu utuh agar aku menjadi bagian dari manusia yang berkesempatan masuk ke surga-Nya bersama orang-orang pilihan.
Lembaran-lembaran pertama diary itu menceritakan tentang uniknya hubungan Faiz dan Niswah, bagaimana mereka kali pertama bertemu dan bertegur sapa, bagaimana mereka sering bertemu dan akhirnya saling mengakui perasaannya satu sama lain. “hhmmm…. Faiz bisa juga ya seperti ini” gumamku dalam hati sembari tertawa kecil, “begitu romantis tak seperti yang dia ceritakan di e-mail”
“…..aku nggak tahu, tiba-tiba perasaan ini ada dalam hati ini. Aku juga nggak tahu apa ini cinta atau bukan. Yang jelas, aku merasa bahagia bila melihat mu…. Apa kamu juga merasakan hal yang sama dengan apa yang sedang aku rasakan??? Hhhmmm……” penggalan isi dairy itu.
Lanjut cerita, perasaan Faiz akhirnya terbalas. Niswah juga mengakui bahwa dia memiliki perasaan yang sama ketika Faiz menanyakan hal itu melalui Short Message Service (layanan pesan singkat). Meskipun aku tidak tahu persis bagaimana ekspresi Faiz saat itu. Namun, aku bisa menebak bahwa dia sangat bahagia. Terlihat jelas hal itu melalui coretannya;
“…….ckakakakakkkkkk,,, Akhirnya, Niswah juga mencintaiku. Tak habis pikir, dia juga menyimpan perasaan yang sama. Padahal, saat ketemu aku. Dia biasa-biasa saja. Bahkan aku tak melihat tanda-tanda itu. ANEH TAPI ASYIK!!!!! Prikitiuwww…….”
Faiz juga sempat memperhatikan Niswah berulang-ulang bahkan memandangnya berkali-kali meskipun dia paham betul bahwa sebenarnya itu adalah maksiat. Dan, tak sepantasnya dia melakukan itu.
“……..Subhanallah. Dia sangat anggun dengan balutan busana itu. Dia tampak lucu dan manis. ………astaghfirullahal ‘adhim….., tak seharusnya aku memandangnya berulang-ulang. Cukup sekali aku melihatnya sebagai nikmat yang telah Allah berikan…. Selebihnya adalah dosa yang akan menuntunku ke neraka. Naudzubillah mindzalik……..”
Inilah yang kemudian banyak orang lalai dan menjerumuskan mereka bersama syetan ke neraka. Sebab itulah, Ustadz Habib—pemangku ponpes Darul Falach di Uzbekistan—mewanti-wanti kami saat di pesantren agar benar-benar menjaga jarak hubungan dengan lawan jenis. Beliau sering mengulang-ngulang kalimat, “walaa taqrobuz zinaa, innahu kaana faakhisyatan wasaa a sabiila”[viii] saat pengajian sore. Memang itu sangat berat bagi kami kaum muda-mudi. Namun itu adalah kewajiban yang setiap pemeluk islam harus pegang teguh. Banyak hal sepele yang kadang kami anggap biasa dalam masyarakat. Namun, itu adalah pelanggaran menurut syariat. Satu misal seperti apa yang dilakukan Faiz atau berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahrom.
Selanjutnya aku jumpai tulisan-tulisan Faiz yang mulai bermasalah. Dari keraguan untuk meresmikan hubungannya sampai tanda titik yang mengakhiri tulisannya sekaligus menutup dairy itu. Tiada lagi coretan yang membuatku menggigil cekikikan karena lucu. Semuaya datar bahkan membuatku hatiku tergetar.
“……benar adanya bahwa aku menyayangimu. Benar adanya bahwa aku mencintaimu. Dan, benar adanya bahwa kamu adalah wanita yang membuatku tersenyum kembali. NAMUN, aku ragu untuk menjadikanmu sebagai pendamping hidupku kelak. Ada satu hal yang aku sendiri juga tak tahu membuatku tak berani maju untuk medeklarasikan hubungan kita. Sehingga aku menanyakan kembali pada diriku dan dirimu, apa benar bahwa perasaan ini adalah perasaan cinta seorang lelaki kepada seorang wanita pada umumnya? Bukan rasa cinta atau sayang kakak lelaki kapada adik perempuannya……..”
“……..sampai suara muadzin yang terdengar jelas di tengah-tengah desaku shubuh itu, aku tetap tak bisa memejamkan mata ini. Aku berpikir, “benarkah aku mencintaimu? Dan benarkah kamu mencintaiku?....... bila kamu menyerahkan jawaban ini kepada waktu, aku tak bisa berdiri dan bertahan dengan tanggapan itu. Itu bukan hal yang adil. Tak sepantasnya waktu memegang andil dalam hubungan ini. Kita kaum terpelajar, pasti tahu kemana hubungan ini harus bermuara……”
“…… kenapa kamu menjadi orang lain dan meminta aku untuk meninggalkanmu? Kenapa kamu sendiri yang bilang bahwa aku akan sangat menyesal bila aku tetap mencintaimu? Aku benar-benar tak mengerti!!!!.........aku tahu itu adalah kamu walau kamu menggunakan nomer lain”
“………kemarin kamu mencoba untuk menjauhiku. Entah apa yang membuatmu seperti ini. Sekarang kamu memaksa aku untuk membencimu dengan menjelek-jelekkan diri mu sendiri. Tak se-instant yang kamu minta, ini adalah tentang perasaan. Tak mudah aku bermain di area ini. Aku butuh waktu untuk mencintai atau membenci seseorang. Sebenarnya apa yang kamu inginkan????...........”
“…….kenapa kamu tak mau menjelaskan kepada ku apa alasanmu melakukan ini semua? Kenapa pula kamu diam seolah tak mempunyai salah dan beban? Kamu berjalan dihadapanku tanpa senyum dan kata. Bila perpisahan yang membuatmu kembali tersenyum dan mampu berkata-kata, sebaiknya kita melupakan apa yang telah pernah terjadi diantara kita. Anggap kita tidak pernah mengunggkapkan perasaan itu. Dan, anggap kita baru ketemu. Bila perlu, saya akan memperkenalkan diriku kembali seperti kali pertama kita berjumpa di Ponpes Syafi’iyah. Saat kamu memandangku dan aku menghampirimu, “Assalamu’alaikum, ma’dzirotun. Hal tasma’u lii an u’arrifa nafsiyabik? ismi Faiz Hamid Abdullah. Wa man ismuki?[ix] ……..”
“…….aku sangat kecewa dengan mu tapi aku bahagia sudah mengenalmu. Aku mencoba untuk menunggu penjelasanmu. Namun, sampai saat ini tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirmu. Aku menganggap bahwa kamu telah mengakhiri hubungan ini. Dan, aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah kamu berikan ke aku. Aku tak akan lagi menuntut penjelasanmu. Aku mencoba untuk tegar dan melepasmu pergi. Aku minta maaf tak bisa membuatmu tersenyum.………. Wa ilal liqooi[x]….ukhti Ifadh Ihya’un Niswah……TAMAT……..”
Aku sebenarnya masih bertanya-tanya dalam hati kecilku kenapa Niswah melakukan itu. Dia pasti memiliki alasan besar yang mungkin dia tak berani untuk mengunggapkannya. Walau begitu asumsiku, aku tak berani untuk melontarkan unek-unek ini lebih jauh kepada Faiz. Mungkin dia masih kecewa dengan sikap dan sifat Niswah itu sampai dia menyuruhku membaca diary-nya daripada harus bercerita sendiri. Semoga suatu masa, saat waktu ingin menunjukkan perannya, rahasia ini akan terkuak dan bermuara pada tempat yang tepat. Aku juga tak bisa menilai Niswah toh aku belum tahu penuh tentang dia.
“dhung…dhung…dhung…”
“Allahu akbar….Allahu akbar…” suara adzan seakan memekakkan telinga pasalnya rumah Faiz tepat di sebelah masjid.
“Alhamdulillah…. Sudah adzan. Ayo, Faiq! Kita ke dapur dulu. Umi pasti sudah menyiapkan menu berbuka yang lezat untuk mu” ajak Faiz berbuka puasa.
12:43
30 Agustus 2010
[i] apa kabar?
[ii] bahagia
[iii] Baik-baik saja, terima kasih. Dan bagaimana kabarmu?
[iv] Baik-baik saja, terima kasih. Senang bisa bertemu kamu kembali.
[v] Saya juga demikian.
[vi] kamu
[vii] maaf
[viii] Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk
[ix] Maaf, bolehkan saya memperkenalkan diri kepada anda? Nama saya Faiz Hamid Abdullah. Dan siapa namamu?
[x] Selamat berpisah