Ku Temukan Surga di Ujung Pena
Karya Ali Rosyidi
Gumpalan awan putih sekilas mengitari tubuh ku. Ruang hampa tanpa suara. Sepi dan sunyi. Tiada lagi bangunan yang menjulang tinggi apalagi deru mesin yang mengusik gendang telinga. Aku sendiri tapi aku tak merasa takut. Di sini, semuanya aku dapat. Kebahagiaan hakiki!
Namun, kebahagiaan ini seakan terampas paksa ketika aku melihat sosok wanita tua yang lemah tanpa daya di atas bias cahaya cakrawala. “Aku telah gagal memenuhi janjiku.” Hatiku menggerutu. “seandainya waktu bisa ku putar kembali, ingin aku penuhi janjiku”
Ku tatap matanya penuh dengan luka. Matanya sayu dan layu. Seakan dia tak menyisakan air matanya. Digendong bersamanya anak kecil berusia 3 tahunan. Hatiku gerimis melihat kondisinya. Wanita yang berusia 57 tahun itu seakan tak lagi hidup menerima cobaan Ilahi yang tiada bertepi. Bude Artina, nama sosok wanita tua itu. Ingin rasanya aku menjadi dewa penolong disaat berpulangnya Mbak Ijah, anak tiri Bude Artina ke Rahmatullah karena kecelekaan sepeda motor ketika pulang kerja tigas belas hari yang lalu. Tetapi itu mustahil. Kini Bude Artina harus menghabiskan masa hidupnya hanya dengan Shofa, anak tunggal Mbak Ijah. Suami Bude Artina sudah meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit liver yang dideritanya. Tak jelas juga status suami Mbak Ijah yang menjauh dari keluarga. Terasa lengkap penderitaan Bude Artina ketika orang-orang terdekat meninggalkannya.
Tetesan air mata Bude Artina membuat aku menangis saat dia bercerita tentang Shofa yang memanggil-manggil ibunya dimalam hari. Anak kecil seusianya−yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari kedua orangtuanya−harus melupakan kenangan terindah bersama ibunya.
Dulu semasa pulang kerja, Mbak Ijah selalu ditunggu Shofa didepan teras rumah, ketika sosok Mbak Ijah terlihat, Shofa berteriak-teriak memanggil ibunya, “ibu…..ibu….ibu……” kemudian Mbak Ijah memanjakan Shofa dengan jajanan pasar. Betapa bahagianya Shofa pada ibunya. Namun, sekarang tiada lagi yang diharapkan kedatangannya, semuanya sudah pergi.
Sejenak aku berpaling hanya sekedar membasuh air mata. Aku dapat merasakan kesedihan Bude Artina. Merasakan betapa dia dalam kesepian. Aku berpikir jauh bagaimana Bude Artina akan menghidupi Shofa dan dirinya. Tak selamanya dia mampu berjualan gorengan dan mampu menerima pesanan. Shofa adalah anak manusia yang akan tumbuh dan berkembang, yang akan membutukan sebuah pendidikan, yang akan membutuhkan sandang dan pangan. Dan itu tidak cukup dipenuhi hanya dengan bersandar pada hasil penjualan gorengan.
Aku juga tidak bisa memungkiri kalau ada beberapa kerabat dekat Bude Artina yang masih perhatian dengannya, sesekali memberinya uang dan sesekali membelikan kebutuhan Shofa. Tetapi itu tidak akan berlangsung lama, mereka juga punya kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Apalagi nilai rupiah yang tak bisa diandalkan. Semua kebutuhan pokok naik.
Sesekali aku punya pemikiran akankah nasib Bude Artina dan Shofa seperti wanita Makasar yang tengah hamil tujuh bulan dan anaknya yang berusia lima tahun meninggal dunia akibat kelaparan pada tanggal 29 Pebruari 2008 yang menjadi sorotan media massa. Betapa tragisnya kejadian ini! Sebenarnya aku tidak seberapa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kematian warga Makasar itu. Pemerintah atau keluarga mereka. Aku terlalu berat memikirkan nasib bangsa Indonesia, toh permasalahan Bude Artina belum habis aku bantai.
Aku tidak rela kalau hidup Bude Artini dan Shofa berakhir hanya karena kekurangan makanan dan akan menjadi sorotan publik. Bagaimana dengan martabat Negara Indonesia di kanca internasional kalau terus-terusan warganya meninggal akibat kelaparan. Bukankah kekayaan alam Indonesia melimpah ruah yang seperti diterangkan oleh guru geografi ku semasa SMP.
Bude Artina masih tak bisa mengubur sejarah pahit yang telah dia ukir semasa hidupnya ini. Terlihat matanya masih berkaca-kaca saat bercerita pada ku. Aku yakin kesedihan itu masih membalut perasaan dan hatinya. Ini adalah kekuasaan Allah swt, manusia tak bisa lari dan menghindar dari ketentuan yang sudah digariskan-Nya.
Langit begitu gelap. Tak mampu aku melihat kemerlip cahaya bintang dibalik hitamnya awan. Jarum pendek jam menunjuk ke arah 9. Aku harus pulang. Rasa letih dan lelah menyatu meremukkan badan. Pasalnya, setiba di kampung halaman tadi sore, aku langsung menghampiri rumah Bude Artina setelah sesaat sungkem ke ibu dan bapak dan sekedar menanyakan keadaan.
Gerimis menyertai ku saat aku pulang, mungkin juga akan hujan lebat. Untung saja, rumah Bude Artina dan rumah ku hanya terpisahkan oleh satu rumah kalaupun itu ada. Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Merebahkan badan di atas kasur dan menghilangkan rasa letih dan lelah. Mata ini terasa berat untuk berkedip, ingin rasanya terpejam. Wajah Bude Artina sangat terlihat jelas disela-sela benakku, Muram, layu dan sayu tapi aku masih melihat semangat hidupnya yang tinggi.
Aku berharap, aku bisa membantu ekonomi Bude Artina setelah aku kembali ke Surabaya. Entah dengan cara apa, yang penting baik menurut ukuran manusia dan halal bagi agama. Ini adalah sebuah janji dan harus ditepati. Tekad ini bukan sekedar greget dalam hati tetapi harus di aplikasikan dalam bentuk aksi. Aku tahu, tak banyak yang bisa aku lakukan untuk mewujudkan impian mulia itu tapi aku akan berusaha selama kaki masih kuat menopang badan dan pikiran masih bisa dipergunakan. Walaupun aku hanya seorang kuli tinta yang harus mondar-mandir sepanjang jalan demi mendapat sebuah bahan berita. Aku yakin bisa membantu ekonomi Bude Artina. Menolong seseorang dalam kebaikan adalah anjuran agama. Teringat jelas dibenakku terjemahan ayat-ayat suci Al-qur’an, surat Al Ma’idah ayat 2 yang berbunyi, “…... Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong kamu dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Perjuangan melambai bangga ketika aku akan kembali ke kota pahlawan. Sekarang aku tak hanya lagi seorang mahasiswa yang hanya berangkat kuliah dan pulang ke kos-kosan tetapi aku harus bisa merubah keadaan menjadi lebih. Profesi menjadi kuli tinta bagiku tak meyakinkan apalagi sekarang penghasilanku harus aku bagi dengan Bude Artina sebagai pemenuhan janjiku. Tapi, aku sangat bersyukur. Jiwaku terlelap dalam keheningan malam.
*****
Gema adzan subuh menerobos kokohnya dinding kamar. Lantunan irama muadzin seakan menyentak badanku untuk segera bangun dari ranjang. Namun, kaki ini sulit untuk menginjak bahkan berdiri di atas ubin, seakan-akan terdapat duri tajam tersebar menghiasinya. Layaknya syetan betina memelukku erat, mengahalangi ku untuk menunaikan kewajibanku yang kedua sebagai seorang muslim. Terasa berat untuk menopang badan menuju kamar kecil sekaligus menyucikan badan. Astaghfirullahal adhim, hati ini meminta pengampunan kepada sang Khalik.
Astaghfirullah………robbal baroyah……
Astaghfirullah………minal khothoyah……
Pujian indah nan bermakna ini menyentuh kalbu ku, menuntun ku untuk melangkah ke rumah Allah. Dan menunaikan rangkaian gerakan dan bacaan yang telah digariskan oleh syariat agama.
*****
Fajar begitu indah, kuning kemerah-merahan. Terselip diantaranya warna emas yang terang. Kicauan burung seakan melengkapi keindahan pagi. Udara yang dingin menyelimuti kampung halaman yang beberapa jam lagi tersengat panasnya mentari. Pagi ini begitu indah. Entah kenapa??? Aku yang tadinya jarang sholat berjama’ah di masjid, hari ini terdorong untuk melakukannya. Seakan ada panggilan menyertaiku. Apakah ini karena ambisiku untuk lebih giat dalam mengisi sisa hidupku? atau karena ambisiku untuk membantu meringankan beban Bude Artina di desa? Entahlah?
Kitabullah yang tergeletak diantara gundukan buku kuliah, terlihat usang tak pernah dijamah, aku bersihkan sampulnya dari debu yang menyetubuhinya. Terbuka lebar didepanku surat Adh Dhuha dengan terjemahannya. Aku mencoba membaca seraya memahami inti artinya. Tertulis jelas……
Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
Dan demi malam apbila sunyi,
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,
Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Dan Dia mendapatimu sebagai seseorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
Dan terhadap ni’mat Tuhamnu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Hatiku gerimis, rapuh dan tak ternilai dihadapan-Nya. Terjemahan ayat-ayat itu membuat aku kembali mengenang Bude Artina dan Shofa. Niatku lurus tak tergoyahkan. Aku harus bisa membantu beliau, setidaknya meringankan beban ekonomi Bude Artina. Ku tutup perlahan pedoman umat ini sembari mengusap tetesan air mata. Udara sejuk itu kembali terasa di sela-sela kamarku. Aku keluar sejenak untuk berebut menghirupnya dengan yang lain. Lihat saja, orang-orang berlarian mengitari taman hanya untuk menikmati udara sejuk bahkan kupu-kupu dan burung berterbangan diatas serta bunga-bunga yang mekar dengan berbagai warna seakan tak mau terkalahkan.
Sinar mentari menyibak lebatnya dedaunan pohon di depan teras rumah. Mentari begitu bulat dengan terangnya cahaya seakan mengisyaratkan aku harus segera kembali ke kampung halaman kedua. Namun, aku harus berangkat ke Pulau Karapan Sapi selama dua hari karena sebuah tuntutan kerja. Aku segera berpamitan ke ibu dan bapak tak lupa pada Bude Artina.
*****
Aku senang merangkai sebuah kata menjadi deretan kalimat dan menyatukannya menjadi sebuah paragraf. Inilah yang membuat aku memilih menjadi kuli tinta. Karena tinta pena inilah aku bisa merasakan manis pahitnya bangku kuliah dan sesekali membantu ekonomi keluarga. Tetapi, tinta pena inilah juga yang memupuskan impian ku menjadi seorang dokter−menjadi seseorang yang sedikit bisa menunda kematian seseorang−karena pada hakikatnya kematian dan kehidupan adalah milik Allah Swt. Karena tinta pena inilah pula aku tak bisa menepati janji ku kepada Bude Artina dan karena tinta pena inilah aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai; ibu, bapak, adik dan kakak. Tragisnya, karena tinta pena inilah aku terhantam peluru nyasar polisi saat mereka memulihkan keadaan dua penduduk desa yang sedang bentrok. Saat itu, aku sedang memantau jalannya aksi kedua warga desa dan polisi untuk dijadikan bahan berita. Tinta pena itu terus bercucuran dari ujung tempatnya dan saat itu pula cucuran darah keluar dari kening kepalaku.
Astaghfirullahal adhim.........
Asyhadu’allailahaillah.........
wa asyhadu anna muhammadar rosulullah........
16 maret_17April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar