Me at A glaNce

Foto saya
GRESIK BERHIAS IMAN merupakan slogan kota kelahiranku. sekarang aku menempuh pendidikan S1 di Surabaya State University, The faculty of Language and Art, English Department. pendidikan ini aku peroleh karena aku berkesempatan mendapat beasiswa mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Mindset "The Beauty of Writing" tertanam sejak aku berada di bangku MTs setelah mengirim karya tulis ke Deteksi Jawa Pos. hobi menulis ku ini tertampung di media sekolah sampai akhirnya aku menjabat sebagai pemimpin redaksi mading SMA dan Reporter Majalah PROSPEK. it's amazing experience actually! sebelum aku menetap di kota Pahlawan untuk merampungkan studi ku, aku menulis sebuah buku panduan kepramukaan untuk adik didik ku di alamamaterku dan sekarang mencoba mengukir kembali buku baru yang berjudul " Scouting Guide " yang aku dedikasikan untuk mereka pula. aku temukan the great spirit of writing here. "Dahaga Akan Cinta dan Rindu Rosulillah" merupakan puisi ku yang menduduki posisi ketiga dalam lomba menulis puisi cinta untuk Rosulullah di Universitas Negeri Surabaya. (email: ali_rosyidi51@yahoo.com)

Sabtu, 13 September 2008


CELEBRITY SHOULD HAVE THE SAME RIGHT
IN POLITICAL PARTY
By Ali Rosyidi

Many artists who join political parties become controversy in society. Celebrity who is usually dealing with entertainment and politician who is the expert in leadership and politics are debatable problem. Some people assume that artists merely have the popularity for their starting point, however, it is an unjustifiable reason to tackle them down in politic participation. We have to pay attention to the regulation that is every citizen has the same right in politics, whether they are celebrities, man of letters, religious leaders, historians or the command people as long they are able to fulfill the requirements.

Despite most of people have been firmly aware of the regulation but they still disapprove of the existence of celebrity in political party. They are prejudiced against the political understanding of the celebrity moreover they assume that certain political party is recruiting some artists are merely for the one motive only. It is trying to attract the society in order to vote for them. Because they know the society will be interested to someone who often seen on TV in spite of no capability in politics. This way should be called the public political stupidity. They emphasize that democracy is not entertainment and is not a setting for showing up the fantasy.

Although some people insist on debating and hesitating the capability of celebrity to lead the society but there are many artists having the position as legislative members in fact. For instance Adji Masaid, Dede Yusuf, Marisa Haque and Sophan Sofian. If they are not qualified they won’t be chosen by the society and they will never do their jobs well. Moreover, there are some artists who have graduated from law and politic fields. It is impossible if they have nothing in this case.

Celebrity is expert in entertaining someone else on TV, indeed, it doesn’t mean that they will continuously do the same thing in politics. They are educated so they know what to do in the right place. An artist is totally expression when they must act in front of the camera with a view to getting best result based on the script demand. On the contrary, he will do his duty in legislative assembly on behalf of the society properly. We need to know that mostly artists who join political party have basically been experienced in this field. They have been recruited not only because of their popularity but also their sense of capability, accountability, and integrity.

The totality of celebrity working in politics is reliable. After having a position in legislative assembly, they can manage their time of what to do whether it is correlated with politics or entertainment even mostly they have kept away from their previous career for the purpose of focusing in politics and they are hardly ever seen as star on TV anymore. For the sake of society, they have to stop entertaining their fans and have to be ready messing them.

All in all, differentiation of status and profession in politics is not a guarantee of being better in the legislative assembly. Therefore, each citizen should have the same right in politics whoever they are as long they can do the legitimate procedures. They must be treated alike in spite of being an artist. Basically, celebrity is human being also who has the same right with the others.

Minggu, 07 September 2008

The Impressive Poem

DAHAGA AKAN CINTA DAN RINDU ROSULILLAH *)

By Ali Rosyidi

Kali pertama ku hembuskan bafas dunia
Terselip bisikan hangat di telinga
Asma agung sosok kholifah
Dambaan umat sedunia

Benih cinta tertanam mulai ada
Hingga maut manyapa sudah
Tak terlintas sosok gagah sebagai bunga
Kala mata terpejam 'tuk sementara

Rasa Rindu yang tiada tara
Terwakili dengan tetesan air mata
Sholawat obat penutup luka
Terlampiaskan saat meluap rindu di dada

Cinta dan rindu yang membara
Terbayang hingga di dunia maya
Mencoba menegur sapa
Assalamu'alaika yaa Rosulillah

Detak jantung yang tersisa
Teriringi asma yang mulia
Seraya kaki melangkah
Sholawat sebagai jalan pembuka

Cinta dan rindu baginya
Menyayat kalbu yang merana
Seolah 'kan akhiri semua
Dengan menyevut kesaksian yang nyata

Tak bisa ku menepis bayangnya
Walau hanya imajinasi semata
Karena cinta dan rindu padanya
Membawa taburan bunga dibalik mata

Ku nyanyikan tembang 'nan bermakna
Melalui sholawat ku lepas dahaga
Dahaga cinta yang mencekik terasa
Sampai ku tak lagi dapat tertawa
*) Juara ke-3 Lomba Menulis Puisi di Universitas Negeri Surabaya

Sabtu, 06 September 2008


S A D I S
by Ali Rosyidi

“sudah berapa banyak wanita-wanita malang yang kau perdaya hanya untuk memenuhi hasrat sesaat mu?”
“mama!”
“seandainya bukan karena nafsu, mungkin kita tidak akan hidup bersama bahkan tidur seranjang!”
“ma, sesekali mama tidak mengungkit masa lalu papa, apa tidak bisa? papa selalu berusaha untuk mengalah, papa selalu berusaha untuk menjadi pendengar setia setiap kali mama menceramahi papa. Papa pulang malam bukan berarti papa menemui wati, ditja, kumala atau warmah yang mama tuduhkan! Mereka hanya masa lalu papa, tidak lebih. Bagaimana kita bisa mempertahankan rumah tangga ini kalau mama terus-terusan berprasangka buruk pada papa?”
“aaaaccchhh…!!!!! Terserah apa mau mu”
Tak sempurna rasanya, bila malam panjang dengan kemerlip bintang dan sunyinya suasana di jalan Kiai Sahal Ma’ruf tidak disertai dengan kegaduhan rumah tangga kami yang berada di rumah no. 54/A ini. Tak pernah habis masalah yang kami perbincangkan, selolah-olah hidup kami dipenuhi oleh cerita duka yang harus didramatisir oleh setiap lakonnya. Selalu saja ada yang diperdebatkan, entah yang A, yang B, yang C lah bahkan sampai yang Z dan dari Z kembali lagi ke yang A begitu seterusnya. Seharusnya tetangga kami tertidur lelap di tengah malam tetapi mereka harus terbangun karena terdengar nada keras nan lantang, tak sesekali suara pecahan kaca terselip mengiringi aksi kami.
Akhir-akhir ini, rumah yang terbilang megah nan mewah di deretan jalan ini, tak lagi menciptakan gaduh. Bahkan tak terdengar pula suara pecahan kaca dan suara lantang yang kerap mengusik ketenangan tetangga kala tengah malam tiba. Rumah ini sunyi bagai tak berpenghuni, sesekali hanya terdengar dering telepon, sesekali hanya terdengar pintu gerbang yang terbuka dan sesekali terdengar mobil yang berhenti di depan rumah.
Pasalnya, semenjak suamiku mengalami kecelekaan. Aku tak pernah lagi marah-marah. Aku harus menunggu suami ku yang terbaring lemah di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Surabaya karena kecelakaan sewaktu pulang kerja. Aku tak tega membiarkannya sendiri tergolek tak berdaya, walau selama ini kami selalu bertengkar tanpa batas, sejatinya aku masih menyisahkan perasaan cinta pada suamiku. Aku tak ibah melihat kondisinya seperti itu, apalagi menjadi perbincangan orang-orang yang mengantarkannya ke RS. Ada yang mengatakan dia tertabrak mobil, ada yang mengatakan dia terserempet truk, dan ada yang mengatakan dia menabrak pembatas jalan, toh, pada hakikatnya tidak ada yang tahu secara pasti penyebab kecelakaan itu. Kalau mengingat tiga belas minggu yang lalu, ingin rasanya aku menggilas habis kenangan pahit sepanjang pernikahan kami, tapi itu hanya sebatas utopia. Kami terlanjur mencatatnya dalam sejarah pernikahan kami.
Aku merasa masih terlalu muda untuk menerima kenyataan ini, aku masih ingin berkumpul dengan teman-teman ku di kampus dan sesekali shopping di Mall bersama. Aku tidak mau menjadi janda. Apa yang akan teman-teman bilang tentang ku jika aku menjanda setelah empat belas bulan menikah. Memang pernikahan kami terlalu cepat. Entah keputusan ini salah atau tepat! Yang jelas, aku menikah muda karena aku tidak ingin menjadi bahan omongan tetangga sewaktu Aldi, suamiku mengapeliku setiap hari. Dan, sesekali menginap dirumah walapun sejatinya kami tidak pernah melakukan apa-apa. Apalagi rumor yang tersebar kalau Aldi adalah cowok playboy yang sering gonta-ganti pasangan. Tapi, aku mencintainya. Karena pertimbangan itulah aku memaksa Aldi untuk segera menikahi ku agar dia tidak lari dari cengkramanku. Aku tidak peduli harus mengorbankan kuliahku. Aku yakin kami bisa hidup bahagia dengan kekayaan kedua orang tua kami. Apalagi Aldi sudah mapan bekerja di salah satu perusahaan ternama. Yang terpenting, aku dapat menaklukkan Aldi sekaligus menjadikannya sebagai suamiku secara resmi. Dan aku berharap kami dapat hidup bahagia. Mampu melupakan kenangan dengan pasangan kami masing-masing.
Namun, semuanya berubah. Kami selalu bertengakar semenjak bulan pertama menikah. Tiada lagi keharmonisan diantara kami. Bahkan, sesekali Aldi melayangkan tamparan panas di pipiku. Aku sadar, apa yang aku perbuat ke Aldi tak sepatutnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Aku terlalu keras mengekang dan mencurigainya.
Aku masih teringat jelas ketika Aldi pulang malam. Sengaja Aku menunggunya di ruang tamu. Saat dia mengetuk pintu, aku langsung membukakan pintu seraya menggayangnya dengan kata-kata pedas dan panas.
“dari mana saja baru pulang tengah malam, apa ada majikan menyuruh karyawannya lembur sampai lewat pukul satu malam?” Tanya ku kasar
“ma, papa harus menyelesaikan proyek kerja buat meeting besok pagi malam ini. Jadi, terpaksa papa kerjakan itu semua di kantor. Aku tidak yakin kalau aku akan menyelesaikannya di rumah. Pasti ada aja!” bantah suamiku pelan
“kau memang pinter buat cari alasan”
“ma, papa capek. Papa butuh istirahat!”
“dasar!!! Lelaki!! Apa kamu tidak melihat aku menungguimu sampai larut malam dan sekarang kau mengelak begitu saja. Kemana pikiran mu, pa?”
“pllaakkk” suara tamparan itu mendarat di pipi ku.
“maafkan, papa. Papa capek…..”
Aku memang salah. Aku tidak pantas untuk menjadi istrinya mas Aldi. Dia begitu ramah dan suka mengalah pada ku. Tapi, aku tidak pernah memahami perasaan dia. Aku sangat menyesal. Ingin sekali aku kembali saat aku masih berpacaran dengannya. Aku begitu tulus mencintainya saat itu. Kenapa aku tidak memperhitungkan masak-masak saat aku menikah dengan mas Aldi. Dia sangat baik. Tapi, aku tidak bisa mengimbangi kebaikan mas Aldi. Selalu saja ada celah untuk cemburu dengan mantan-mantannya. Walaupun aku tak pernah tahu wajah mereka lagi setelah kami pindah ke kota.
Layaknya bayi yang baru terlahir ke bumi, bersih dan suci. Aku ingin kembali menjadi seperti itu. Kembali kepada tujuan pernikahan yang disyariatkan oleh agama. Membina keluarga yang syakinah mawaddah warahmah. Tapi apakah itu mungkin? Apakah Mas Aldi akan masih mencintaiku? Aku ingin memperbaiki rumah tangga kami. Aku tak ingin memngecewakan mas Aldi. Aku sangat sadar kalau perbuatanku selama ini tak sepatutnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari dan bulan demi bulan. Aku menunggui suamiku yang terbaring lemah di rumah sakit. Tiga puluh dua hari sudah, dia tak mampu melihat terangnya cahaya mentari, cerahnya langit yang berawan putih dan indahnya bunga-bunga yang mekar di musim penghujan. Aku selalu sabar dan setia menanti cintaku yang telah lama hilang. Aku selalu berdo’a kepada sang Maha Kuasa agar suamiku segera diberi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.
Penyesalan yang mendalam dan rasa berdosa yang selalu terbayang membuat aku kering dan pudar. Entah kurang makan atau terlalu banyak beban pikiran. “aku harus menebus kebahagian mas Aldi yang selama ini sudah aku rampas. Aku jahat. Aku tega menghardik suami sendiri dengan perkataan kotor dan hina.” Penyesalanku mendera.
Dokter selalu memeriksa keadaan suamiku. Namun, tiada kepastian kapan mas Aldi akan terbangun dari tidur panjangnya. Aku sangat merindukan pelukan dan kasih sayang mas Aldi. Sudah empat belas bulan kami menikah. Tapi, kebahagian yang kami dapat hanya sebatas hitungan jam. Aku sangat menyesal kenapa aku lebih membesarkan rasa cemburuku dari pada kepercayaan cinta mas Aldi kepada ku saat itu. Nasi sudah menjadi bubur.
Aku tahu dokter tak akan mampu mengembalikan nyawa seseorang yang sudah mati. Tapi, setidaknya dia mampu untuk mengobati luka-luka pasiennya. Naasnya, tidak bagi suamiku. Entah harus sampai kapan aku harus menunggu dan menunggu. Menunggu kehidupan atau kematian. Yang aku harapkan adalah satu, bisa menebus kesalahan ku pada mas Aldi atas sikap ku selama empat belas bulan itu.
Malam begitu indah. Bulan purnama dapat aku lihat dari cendela kaca rumah sakit Surabaya. Bulat dan bercahaya. Tuhan mampu untuk merubah segalanya sesuai dengan kehendak-Nya. Lihat saja, bulan sabit yang melengkung kecil mampu berubah menjadi bulan besar nan terang yang bernama purnama. Aku yakin, penantianku ini tidak akan sia-sia. Mas Aldi akan sembuh seperti sedia kala. Malam semakin larut, aku tertidur di samping mas Aldi. Semuanya menjadi gelap pekat.
Serpihan cahaya matahari menggugahku dari lelapnya malam. Terasa ada gerakan di tangan kiriku. Gerakan yang lemah dan pelan. Hatiku tersenyum. Perasaanku terbang entah kemana. Aku dalam ujung sebuah penantian. Hatiku bahagia walau belum pasti itu gerakan siapa. Tapi aku yakin, itu gerak tangan mas Aldi. Aku mencoba memastikan asumsi itu. Aku bangun dan menoleh pada tangan mas Aldi.
“Alhamdulillah…….ya Allah! Engkau telah meng-ijabahi doa-doaku selama 40 hari ini.” Rasa syukur ku pada Ilahi robbi yang telah memberikan kesabaran kepadaku untuk menunggu dan yang telah memberikan kekuatan kepada suamiku untuk mampu menggerakkan jemarinya.
Tanpa persaan ragu, aku pencet tombol merah di depanku untuk mengistruksikan kepada dokter atau perawat menghampiri kamar 253, tempat suamiku dirawat.
“dokter! Suamiku……” ujar ku gugup
“ya tenang…..tenang ya bu. Lebih baik ibu keluar dulu. Kami akan memeriksa kondisi pak Aldi” sahut dokter
Lagi-lagi, aku dalam sebuah penantian. Namun, aku yakin penantian ini akan berujung pada sebuah kebahagiaan yang selama ini aku nanti. Aku sangat merindukan mas Aldi. Dan, sangat merindukannya. Setiba dokter di ambang pintu. Aku segera menyergapnya dan menanyakan keadaan suamiku.
“bagaimana keadaan suamiku, dok? Tanyaku
“apa dia baik-baik saja?”
“kapan dia bisa pulang, dok?
“aku sangat merindukannya dok. Aku sangat………..”
Tanya ku tiada batas dan sekali berhenti tiada lagi suara setelah dokter berkata, “maaf, suami ibu mengalami koma permanen. Dan sulit untuk sembuh. Kami sudah berusaha tetapi Tuhan berkendak lain.”
Hatiku remuk tiada lagi sisa serpihannya. Mataku meneteskan air mata. Peneyelasan membalut perinya luka hati yang tak lagi terobati. Haruskah aku berdiri dalam penantian panjang atau menghapus mas Aldi dari hidupku? Aku berdiri mematung diantara tiang-tiang penyangga gedung memandangi wajah mas Aldi yang tak bergerak dan tak lagi senyum padaku. Empat belas bulan sudah senyum itu tak lagi ada dan mungkin tak akan pernah ada.
Surabaya, 17 April 2007
11.25 PM

Show The Beauty of Writing!


Ku Temukan Surga di Ujung Pena
Karya Ali Rosyidi

Gumpalan awan putih sekilas mengitari tubuh ku. Ruang hampa tanpa suara. Sepi dan sunyi. Tiada lagi bangunan yang menjulang tinggi apalagi deru mesin yang mengusik gendang telinga. Aku sendiri tapi aku tak merasa takut. Di sini, semuanya aku dapat. Kebahagiaan hakiki!
Namun, kebahagiaan ini seakan terampas paksa ketika aku melihat sosok wanita tua yang lemah tanpa daya di atas bias cahaya cakrawala. “Aku telah gagal memenuhi janjiku.” Hatiku menggerutu. “seandainya waktu bisa ku putar kembali, ingin aku penuhi janjiku”
Ku tatap matanya penuh dengan luka. Matanya sayu dan layu. Seakan dia tak menyisakan air matanya. Digendong bersamanya anak kecil berusia 3 tahunan. Hatiku gerimis melihat kondisinya. Wanita yang berusia 57 tahun itu seakan tak lagi hidup menerima cobaan Ilahi yang tiada bertepi. Bude Artina, nama sosok wanita tua itu. Ingin rasanya aku menjadi dewa penolong disaat berpulangnya Mbak Ijah, anak tiri Bude Artina ke Rahmatullah karena kecelekaan sepeda motor ketika pulang kerja tigas belas hari yang lalu. Tetapi itu mustahil. Kini Bude Artina harus menghabiskan masa hidupnya hanya dengan Shofa, anak tunggal Mbak Ijah. Suami Bude Artina sudah meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit liver yang dideritanya. Tak jelas juga status suami Mbak Ijah yang menjauh dari keluarga. Terasa lengkap penderitaan Bude Artina ketika orang-orang terdekat meninggalkannya.
Tetesan air mata Bude Artina membuat aku menangis saat dia bercerita tentang Shofa yang memanggil-manggil ibunya dimalam hari. Anak kecil seusianya−yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari kedua orangtuanya−harus melupakan kenangan terindah bersama ibunya.
Dulu semasa pulang kerja, Mbak Ijah selalu ditunggu Shofa didepan teras rumah, ketika sosok Mbak Ijah terlihat, Shofa berteriak-teriak memanggil ibunya, “ibu…..ibu….ibu……” kemudian Mbak Ijah memanjakan Shofa dengan jajanan pasar. Betapa bahagianya Shofa pada ibunya. Namun, sekarang tiada lagi yang diharapkan kedatangannya, semuanya sudah pergi.
Sejenak aku berpaling hanya sekedar membasuh air mata. Aku dapat merasakan kesedihan Bude Artina. Merasakan betapa dia dalam kesepian. Aku berpikir jauh bagaimana Bude Artina akan menghidupi Shofa dan dirinya. Tak selamanya dia mampu berjualan gorengan dan mampu menerima pesanan. Shofa adalah anak manusia yang akan tumbuh dan berkembang, yang akan membutukan sebuah pendidikan, yang akan membutuhkan sandang dan pangan. Dan itu tidak cukup dipenuhi hanya dengan bersandar pada hasil penjualan gorengan.
Aku juga tidak bisa memungkiri kalau ada beberapa kerabat dekat Bude Artina yang masih perhatian dengannya, sesekali memberinya uang dan sesekali membelikan kebutuhan Shofa. Tetapi itu tidak akan berlangsung lama, mereka juga punya kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Apalagi nilai rupiah yang tak bisa diandalkan. Semua kebutuhan pokok naik.
Sesekali aku punya pemikiran akankah nasib Bude Artina dan Shofa seperti wanita Makasar yang tengah hamil tujuh bulan dan anaknya yang berusia lima tahun meninggal dunia akibat kelaparan pada tanggal 29 Pebruari 2008 yang menjadi sorotan media massa. Betapa tragisnya kejadian ini! Sebenarnya aku tidak seberapa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kematian warga Makasar itu. Pemerintah atau keluarga mereka. Aku terlalu berat memikirkan nasib bangsa Indonesia, toh permasalahan Bude Artina belum habis aku bantai.
Aku tidak rela kalau hidup Bude Artini dan Shofa berakhir hanya karena kekurangan makanan dan akan menjadi sorotan publik. Bagaimana dengan martabat Negara Indonesia di kanca internasional kalau terus-terusan warganya meninggal akibat kelaparan. Bukankah kekayaan alam Indonesia melimpah ruah yang seperti diterangkan oleh guru geografi ku semasa SMP.
Bude Artina masih tak bisa mengubur sejarah pahit yang telah dia ukir semasa hidupnya ini. Terlihat matanya masih berkaca-kaca saat bercerita pada ku. Aku yakin kesedihan itu masih membalut perasaan dan hatinya. Ini adalah kekuasaan Allah swt, manusia tak bisa lari dan menghindar dari ketentuan yang sudah digariskan-Nya.
Langit begitu gelap. Tak mampu aku melihat kemerlip cahaya bintang dibalik hitamnya awan. Jarum pendek jam menunjuk ke arah 9. Aku harus pulang. Rasa letih dan lelah menyatu meremukkan badan. Pasalnya, setiba di kampung halaman tadi sore, aku langsung menghampiri rumah Bude Artina setelah sesaat sungkem ke ibu dan bapak dan sekedar menanyakan keadaan.
Gerimis menyertai ku saat aku pulang, mungkin juga akan hujan lebat. Untung saja, rumah Bude Artina dan rumah ku hanya terpisahkan oleh satu rumah kalaupun itu ada. Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Merebahkan badan di atas kasur dan menghilangkan rasa letih dan lelah. Mata ini terasa berat untuk berkedip, ingin rasanya terpejam. Wajah Bude Artina sangat terlihat jelas disela-sela benakku, Muram, layu dan sayu tapi aku masih melihat semangat hidupnya yang tinggi.
Aku berharap, aku bisa membantu ekonomi Bude Artina setelah aku kembali ke Surabaya. Entah dengan cara apa, yang penting baik menurut ukuran manusia dan halal bagi agama. Ini adalah sebuah janji dan harus ditepati. Tekad ini bukan sekedar greget dalam hati tetapi harus di aplikasikan dalam bentuk aksi. Aku tahu, tak banyak yang bisa aku lakukan untuk mewujudkan impian mulia itu tapi aku akan berusaha selama kaki masih kuat menopang badan dan pikiran masih bisa dipergunakan. Walaupun aku hanya seorang kuli tinta yang harus mondar-mandir sepanjang jalan demi mendapat sebuah bahan berita. Aku yakin bisa membantu ekonomi Bude Artina. Menolong seseorang dalam kebaikan adalah anjuran agama. Teringat jelas dibenakku terjemahan ayat-ayat suci Al-qur’an, surat Al Ma’idah ayat 2 yang berbunyi, “…... Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong kamu dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Perjuangan melambai bangga ketika aku akan kembali ke kota pahlawan. Sekarang aku tak hanya lagi seorang mahasiswa yang hanya berangkat kuliah dan pulang ke kos-kosan tetapi aku harus bisa merubah keadaan menjadi lebih. Profesi menjadi kuli tinta bagiku tak meyakinkan apalagi sekarang penghasilanku harus aku bagi dengan Bude Artina sebagai pemenuhan janjiku. Tapi, aku sangat bersyukur. Jiwaku terlelap dalam keheningan malam.
*****
Gema adzan subuh menerobos kokohnya dinding kamar. Lantunan irama muadzin seakan menyentak badanku untuk segera bangun dari ranjang. Namun, kaki ini sulit untuk menginjak bahkan berdiri di atas ubin, seakan-akan terdapat duri tajam tersebar menghiasinya. Layaknya syetan betina memelukku erat, mengahalangi ku untuk menunaikan kewajibanku yang kedua sebagai seorang muslim. Terasa berat untuk menopang badan menuju kamar kecil sekaligus menyucikan badan. Astaghfirullahal adhim, hati ini meminta pengampunan kepada sang Khalik.
Astaghfirullah………robbal baroyah……
Astaghfirullah………minal khothoyah……
Pujian indah nan bermakna ini menyentuh kalbu ku, menuntun ku untuk melangkah ke rumah Allah. Dan menunaikan rangkaian gerakan dan bacaan yang telah digariskan oleh syariat agama.
*****
Fajar begitu indah, kuning kemerah-merahan. Terselip diantaranya warna emas yang terang. Kicauan burung seakan melengkapi keindahan pagi. Udara yang dingin menyelimuti kampung halaman yang beberapa jam lagi tersengat panasnya mentari. Pagi ini begitu indah. Entah kenapa??? Aku yang tadinya jarang sholat berjama’ah di masjid, hari ini terdorong untuk melakukannya. Seakan ada panggilan menyertaiku. Apakah ini karena ambisiku untuk lebih giat dalam mengisi sisa hidupku? atau karena ambisiku untuk membantu meringankan beban Bude Artina di desa? Entahlah?
Kitabullah yang tergeletak diantara gundukan buku kuliah, terlihat usang tak pernah dijamah, aku bersihkan sampulnya dari debu yang menyetubuhinya. Terbuka lebar didepanku surat Adh Dhuha dengan terjemahannya. Aku mencoba membaca seraya memahami inti artinya. Tertulis jelas……
Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
Dan demi malam apbila sunyi,
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,
Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Dan Dia mendapatimu sebagai seseorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
Dan terhadap ni’mat Tuhamnu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Hatiku gerimis, rapuh dan tak ternilai dihadapan-Nya. Terjemahan ayat-ayat itu membuat aku kembali mengenang Bude Artina dan Shofa. Niatku lurus tak tergoyahkan. Aku harus bisa membantu beliau, setidaknya meringankan beban ekonomi Bude Artina. Ku tutup perlahan pedoman umat ini sembari mengusap tetesan air mata. Udara sejuk itu kembali terasa di sela-sela kamarku. Aku keluar sejenak untuk berebut menghirupnya dengan yang lain. Lihat saja, orang-orang berlarian mengitari taman hanya untuk menikmati udara sejuk bahkan kupu-kupu dan burung berterbangan diatas serta bunga-bunga yang mekar dengan berbagai warna seakan tak mau terkalahkan.
Sinar mentari menyibak lebatnya dedaunan pohon di depan teras rumah. Mentari begitu bulat dengan terangnya cahaya seakan mengisyaratkan aku harus segera kembali ke kampung halaman kedua. Namun, aku harus berangkat ke Pulau Karapan Sapi selama dua hari karena sebuah tuntutan kerja. Aku segera berpamitan ke ibu dan bapak tak lupa pada Bude Artina.
*****
Aku senang merangkai sebuah kata menjadi deretan kalimat dan menyatukannya menjadi sebuah paragraf. Inilah yang membuat aku memilih menjadi kuli tinta. Karena tinta pena inilah aku bisa merasakan manis pahitnya bangku kuliah dan sesekali membantu ekonomi keluarga. Tetapi, tinta pena inilah juga yang memupuskan impian ku menjadi seorang dokter−menjadi seseorang yang sedikit bisa menunda kematian seseorang−karena pada hakikatnya kematian dan kehidupan adalah milik Allah Swt. Karena tinta pena inilah pula aku tak bisa menepati janji ku kepada Bude Artina dan karena tinta pena inilah aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai; ibu, bapak, adik dan kakak. Tragisnya, karena tinta pena inilah aku terhantam peluru nyasar polisi saat mereka memulihkan keadaan dua penduduk desa yang sedang bentrok. Saat itu, aku sedang memantau jalannya aksi kedua warga desa dan polisi untuk dijadikan bahan berita. Tinta pena itu terus bercucuran dari ujung tempatnya dan saat itu pula cucuran darah keluar dari kening kepalaku.
Astaghfirullahal adhim.........
Asyhadu’allailahaillah.........
wa asyhadu anna muhammadar rosulullah........
16 maret_17April 2008