S A D I S
by Ali Rosyidi
“sudah berapa banyak wanita-wanita malang yang kau perdaya hanya untuk memenuhi hasrat sesaat mu?”
“mama!”
“seandainya bukan karena nafsu, mungkin kita tidak akan hidup bersama bahkan tidur seranjang!”
“ma, sesekali mama tidak mengungkit masa lalu papa, apa tidak bisa? papa selalu berusaha untuk mengalah, papa selalu berusaha untuk menjadi pendengar setia setiap kali mama menceramahi papa. Papa pulang malam bukan berarti papa menemui wati, ditja, kumala atau warmah yang mama tuduhkan! Mereka hanya masa lalu papa, tidak lebih. Bagaimana kita bisa mempertahankan rumah tangga ini kalau mama terus-terusan berprasangka buruk pada papa?”
“aaaaccchhh…!!!!! Terserah apa mau mu”
Tak sempurna rasanya, bila malam panjang dengan kemerlip bintang dan sunyinya suasana di jalan Kiai Sahal Ma’ruf tidak disertai dengan kegaduhan rumah tangga kami yang berada di rumah no. 54/A ini. Tak pernah habis masalah yang kami perbincangkan, selolah-olah hidup kami dipenuhi oleh cerita duka yang harus didramatisir oleh setiap lakonnya. Selalu saja ada yang diperdebatkan, entah yang A, yang B, yang C lah bahkan sampai yang Z dan dari Z kembali lagi ke yang A begitu seterusnya. Seharusnya tetangga kami tertidur lelap di tengah malam tetapi mereka harus terbangun karena terdengar nada keras nan lantang, tak sesekali suara pecahan kaca terselip mengiringi aksi kami.
Akhir-akhir ini, rumah yang terbilang megah nan mewah di deretan jalan ini, tak lagi menciptakan gaduh. Bahkan tak terdengar pula suara pecahan kaca dan suara lantang yang kerap mengusik ketenangan tetangga kala tengah malam tiba. Rumah ini sunyi bagai tak berpenghuni, sesekali hanya terdengar dering telepon, sesekali hanya terdengar pintu gerbang yang terbuka dan sesekali terdengar mobil yang berhenti di depan rumah.
Pasalnya, semenjak suamiku mengalami kecelekaan. Aku tak pernah lagi marah-marah. Aku harus menunggu suami ku yang terbaring lemah di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Surabaya karena kecelakaan sewaktu pulang kerja. Aku tak tega membiarkannya sendiri tergolek tak berdaya, walau selama ini kami selalu bertengkar tanpa batas, sejatinya aku masih menyisahkan perasaan cinta pada suamiku. Aku tak ibah melihat kondisinya seperti itu, apalagi menjadi perbincangan orang-orang yang mengantarkannya ke RS. Ada yang mengatakan dia tertabrak mobil, ada yang mengatakan dia terserempet truk, dan ada yang mengatakan dia menabrak pembatas jalan, toh, pada hakikatnya tidak ada yang tahu secara pasti penyebab kecelakaan itu. Kalau mengingat tiga belas minggu yang lalu, ingin rasanya aku menggilas habis kenangan pahit sepanjang pernikahan kami, tapi itu hanya sebatas utopia. Kami terlanjur mencatatnya dalam sejarah pernikahan kami.
Aku merasa masih terlalu muda untuk menerima kenyataan ini, aku masih ingin berkumpul dengan teman-teman ku di kampus dan sesekali shopping di Mall bersama. Aku tidak mau menjadi janda. Apa yang akan teman-teman bilang tentang ku jika aku menjanda setelah empat belas bulan menikah. Memang pernikahan kami terlalu cepat. Entah keputusan ini salah atau tepat! Yang jelas, aku menikah muda karena aku tidak ingin menjadi bahan omongan tetangga sewaktu Aldi, suamiku mengapeliku setiap hari. Dan, sesekali menginap dirumah walapun sejatinya kami tidak pernah melakukan apa-apa. Apalagi rumor yang tersebar kalau Aldi adalah cowok playboy yang sering gonta-ganti pasangan. Tapi, aku mencintainya. Karena pertimbangan itulah aku memaksa Aldi untuk segera menikahi ku agar dia tidak lari dari cengkramanku. Aku tidak peduli harus mengorbankan kuliahku. Aku yakin kami bisa hidup bahagia dengan kekayaan kedua orang tua kami. Apalagi Aldi sudah mapan bekerja di salah satu perusahaan ternama. Yang terpenting, aku dapat menaklukkan Aldi sekaligus menjadikannya sebagai suamiku secara resmi. Dan aku berharap kami dapat hidup bahagia. Mampu melupakan kenangan dengan pasangan kami masing-masing.
Namun, semuanya berubah. Kami selalu bertengakar semenjak bulan pertama menikah. Tiada lagi keharmonisan diantara kami. Bahkan, sesekali Aldi melayangkan tamparan panas di pipiku. Aku sadar, apa yang aku perbuat ke Aldi tak sepatutnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Aku terlalu keras mengekang dan mencurigainya.
Aku masih teringat jelas ketika Aldi pulang malam. Sengaja Aku menunggunya di ruang tamu. Saat dia mengetuk pintu, aku langsung membukakan pintu seraya menggayangnya dengan kata-kata pedas dan panas.
“dari mana saja baru pulang tengah malam, apa ada majikan menyuruh karyawannya lembur sampai lewat pukul satu malam?” Tanya ku kasar
“ma, papa harus menyelesaikan proyek kerja buat meeting besok pagi malam ini. Jadi, terpaksa papa kerjakan itu semua di kantor. Aku tidak yakin kalau aku akan menyelesaikannya di rumah. Pasti ada aja!” bantah suamiku pelan
“kau memang pinter buat cari alasan”
“ma, papa capek. Papa butuh istirahat!”
“dasar!!! Lelaki!! Apa kamu tidak melihat aku menungguimu sampai larut malam dan sekarang kau mengelak begitu saja. Kemana pikiran mu, pa?”
“pllaakkk” suara tamparan itu mendarat di pipi ku.
“maafkan, papa. Papa capek…..”
Aku memang salah. Aku tidak pantas untuk menjadi istrinya mas Aldi. Dia begitu ramah dan suka mengalah pada ku. Tapi, aku tidak pernah memahami perasaan dia. Aku sangat menyesal. Ingin sekali aku kembali saat aku masih berpacaran dengannya. Aku begitu tulus mencintainya saat itu. Kenapa aku tidak memperhitungkan masak-masak saat aku menikah dengan mas Aldi. Dia sangat baik. Tapi, aku tidak bisa mengimbangi kebaikan mas Aldi. Selalu saja ada celah untuk cemburu dengan mantan-mantannya. Walaupun aku tak pernah tahu wajah mereka lagi setelah kami pindah ke kota.
Layaknya bayi yang baru terlahir ke bumi, bersih dan suci. Aku ingin kembali menjadi seperti itu. Kembali kepada tujuan pernikahan yang disyariatkan oleh agama. Membina keluarga yang syakinah mawaddah warahmah. Tapi apakah itu mungkin? Apakah Mas Aldi akan masih mencintaiku? Aku ingin memperbaiki rumah tangga kami. Aku tak ingin memngecewakan mas Aldi. Aku sangat sadar kalau perbuatanku selama ini tak sepatutnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari dan bulan demi bulan. Aku menunggui suamiku yang terbaring lemah di rumah sakit. Tiga puluh dua hari sudah, dia tak mampu melihat terangnya cahaya mentari, cerahnya langit yang berawan putih dan indahnya bunga-bunga yang mekar di musim penghujan. Aku selalu sabar dan setia menanti cintaku yang telah lama hilang. Aku selalu berdo’a kepada sang Maha Kuasa agar suamiku segera diberi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.
Penyesalan yang mendalam dan rasa berdosa yang selalu terbayang membuat aku kering dan pudar. Entah kurang makan atau terlalu banyak beban pikiran. “aku harus menebus kebahagian mas Aldi yang selama ini sudah aku rampas. Aku jahat. Aku tega menghardik suami sendiri dengan perkataan kotor dan hina.” Penyesalanku mendera.
Dokter selalu memeriksa keadaan suamiku. Namun, tiada kepastian kapan mas Aldi akan terbangun dari tidur panjangnya. Aku sangat merindukan pelukan dan kasih sayang mas Aldi. Sudah empat belas bulan kami menikah. Tapi, kebahagian yang kami dapat hanya sebatas hitungan jam. Aku sangat menyesal kenapa aku lebih membesarkan rasa cemburuku dari pada kepercayaan cinta mas Aldi kepada ku saat itu. Nasi sudah menjadi bubur.
Aku tahu dokter tak akan mampu mengembalikan nyawa seseorang yang sudah mati. Tapi, setidaknya dia mampu untuk mengobati luka-luka pasiennya. Naasnya, tidak bagi suamiku. Entah harus sampai kapan aku harus menunggu dan menunggu. Menunggu kehidupan atau kematian. Yang aku harapkan adalah satu, bisa menebus kesalahan ku pada mas Aldi atas sikap ku selama empat belas bulan itu.
Malam begitu indah. Bulan purnama dapat aku lihat dari cendela kaca rumah sakit Surabaya. Bulat dan bercahaya. Tuhan mampu untuk merubah segalanya sesuai dengan kehendak-Nya. Lihat saja, bulan sabit yang melengkung kecil mampu berubah menjadi bulan besar nan terang yang bernama purnama. Aku yakin, penantianku ini tidak akan sia-sia. Mas Aldi akan sembuh seperti sedia kala. Malam semakin larut, aku tertidur di samping mas Aldi. Semuanya menjadi gelap pekat.
Serpihan cahaya matahari menggugahku dari lelapnya malam. Terasa ada gerakan di tangan kiriku. Gerakan yang lemah dan pelan. Hatiku tersenyum. Perasaanku terbang entah kemana. Aku dalam ujung sebuah penantian. Hatiku bahagia walau belum pasti itu gerakan siapa. Tapi aku yakin, itu gerak tangan mas Aldi. Aku mencoba memastikan asumsi itu. Aku bangun dan menoleh pada tangan mas Aldi.
“Alhamdulillah…….ya Allah! Engkau telah meng-ijabahi doa-doaku selama 40 hari ini.” Rasa syukur ku pada Ilahi robbi yang telah memberikan kesabaran kepadaku untuk menunggu dan yang telah memberikan kekuatan kepada suamiku untuk mampu menggerakkan jemarinya.
Tanpa persaan ragu, aku pencet tombol merah di depanku untuk mengistruksikan kepada dokter atau perawat menghampiri kamar 253, tempat suamiku dirawat.
“dokter! Suamiku……” ujar ku gugup
“ya tenang…..tenang ya bu. Lebih baik ibu keluar dulu. Kami akan memeriksa kondisi pak Aldi” sahut dokter
Lagi-lagi, aku dalam sebuah penantian. Namun, aku yakin penantian ini akan berujung pada sebuah kebahagiaan yang selama ini aku nanti. Aku sangat merindukan mas Aldi. Dan, sangat merindukannya. Setiba dokter di ambang pintu. Aku segera menyergapnya dan menanyakan keadaan suamiku.
“bagaimana keadaan suamiku, dok? Tanyaku
“apa dia baik-baik saja?”
“kapan dia bisa pulang, dok?
“aku sangat merindukannya dok. Aku sangat………..”
Tanya ku tiada batas dan sekali berhenti tiada lagi suara setelah dokter berkata, “maaf, suami ibu mengalami koma permanen. Dan sulit untuk sembuh. Kami sudah berusaha tetapi Tuhan berkendak lain.”
Hatiku remuk tiada lagi sisa serpihannya. Mataku meneteskan air mata. Peneyelasan membalut perinya luka hati yang tak lagi terobati. Haruskah aku berdiri dalam penantian panjang atau menghapus mas Aldi dari hidupku? Aku berdiri mematung diantara tiang-tiang penyangga gedung memandangi wajah mas Aldi yang tak bergerak dan tak lagi senyum padaku. Empat belas bulan sudah senyum itu tak lagi ada dan mungkin tak akan pernah ada.
Surabaya, 17 April 2007
11.25 PM